MEDIAACEH.CO, Palembang – Berdasarkan amanat Pasal 157 UU tentang Perubahan UU Pilkada, Pemerintah dan DPR didesak membentuk pengadilan khusus guna menangani sengketa hasil UU Pilkada.
Hal itu sangat penting untuk meningkatkan kualitas pilkada dan meminimalisasi terjadinya kecurangan. Desakan tersebut disampaikan pakar hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra dalam diskusi panel “Permasalahan Hukum dalam Pilkada”, Sabtu 20 Mei 2017.
“Langkah pemerintah itu sangat penting, apalagi Mahkamah Konstitusi (MK) tidak mampu lagi menangani sengketa pilkada, apalagi Pilkada serentak yang kali ini akan dilaksanakan di 171 daerah. Karena Pilkada bukanlah termasuk ke dalam kategori Pemilu, MK sendiri sudah lama menyatakan bahwa lembaga itu tidak berwenang mengadili sengketa Pilkada,” tegas Yusril.
Alternatif lembaga peradilan khusus untuk Pikada, seperti ditambahkan Yusril, adalah menyerahkannya kepada Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara. Namun jumlah Pengadilan Tinggi TUN harus ditambah dari empat yang ada sekarang menjadi delapan, yakni PT TUN Medan, Palembang, Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Banjarmasin, Makassar dan Ambon. Putusan pengadilan tinggi TUN itu nantinya dapat dilakukan kasasi ke Mahkamah Agung.
Menurutnya, PT TUN relevan mengadili sengketa hasil Pilkada karena yang digugat adalah Keputusan KPU setempat tentang rekapitulasi penghitungan suara dan penetapan pasangan pemenang. Keputusan KPU, lanjut Yusril, adalah Keputusan lembaga tata usaha negara. PT TUN mengadili perkara itu dengan menilai apakah Keputusan KPU itu bertentangan dengan peraturan perundangan yang berlaku, asas-asas umum pemerintahan yang baik dan asas-asas penyelenggaraan pemilu.
“Berdasarkan pengalaman saya sebagai Menteri Kehakiman dan HAM, membentuk Pengadilan Tinggi TUN seperti itu tidaklah sulit. Banyak hakim PTUN yang antri untuk dipromosi nenjadi hakim tinggi. Kalau fasilitas gedung, sementara bisa minta bantuan gubernur di daerah-daerah,” papar Yusril.
Diserahkannya penyelesaian sengketa hasil Pilkada kepada PT TUN adalah upaya untuk membuka akses yang lebih luas bagi rakyat dalam mencari keadilan yang cepat dan biayanya murah. Kalau semua dibawa ke MK ongkosnya sangat mahal, apalagi dari daerah-daerah yang jauh dari ibu kota.
Berdasarkan ketentuan Pasal 158 UU Pilkada yang membatasi prosentase selisih kekalahan bagi pemohon untuk membawa sengketa hasil Pilkada ke pengadilan berdasarkan jumlah penduduk. “Hak setiap orang untuk mencari keadilan dijamin oleh Pasal 28D ayat 1 UUD 45. Hak yang dijamin oleh UUD itu tidak bisa dibatasi undang-undang dengan prosentase kekalahan dalam Pilkada,” tegas Yusril yang juga Ketua Umum Partai Bulan Bintang.
Oleh karena itu, Yusril menyarankan kepada para bakal calon dalam Pilkada serentak 2018 untuk menguji pasal 158 UU Pilkada tersebut ke Mahkamah Konstitusi agar pasal itu dibatalkan. Para bakal calon itu, menurutnya, mempunyai “legal standing” untuk memohon pengujian undang-undang karena hak konstitusional mereka untuk mencari keadilan, dikesampingkan oleh undang-undang.
Mengingat pasal 158 UU Pilkada itu dinilai memberi peluang sebesar-besarnya untuk terjadinya kecurangan dalam Pilkada. “Kalau mau menang Pilkada, silahkan pasangan calon untuk curang-securangnya. Kalau kecurangan itu membuat selisih kemenangannya melebih 0,5 % di provinsi yang berpenduduk di atas 6 juta, maka lawannya tidak bisa melawan ke pengadilan. Masa ada undang-undang membuka peluang bagi Pilkada yang penuh kecurangan. Ini harus dilawan melalui judicial review” tegas Yusril.
Pilkada yang dimenangkan oleh calon yang curang, menurut Yusril, bisa membawa bangsa dan negara ini ke jurang kehancuran. “Dan hal seperti itu tidak bisa dibiarkan dalam Pilkada Serentak Putaran Ketiga tahun 2018 yang akan datang,” pungkasnya.[]
Sumber: Okezone
Discussion about this post