MEDIAACEH.CO, Banda Aceh – Sebuah tulisan aneuk Aceh, Chaerol Riezal, yang berjudul “Jangan lupakan sejarah kelam; 19 Mei 2003 Megawati dan SBY Umumkan Darurat Militer di Aceh” telah dihapus oleh Kompasiana.com setelah setengah jam tayang.
Chaerol Riezal mengaku kecewa dengan penghapusan sepihak oleh redaksi kompasiana terhadap tulisan peringatan Darurat Militer di Aceh tersebut.
Atas izin Chaerol, pihak mediaaceh.co menayangkan kembali tulisan itu sebagai pengenang 14 tahun Darurat Militer di Aceh. Berikut tulisan lengkapnya:
Jangan Lupakan Sejarah Kelam Aceh; 19 Mei 2003 Megawati dan SBY Umumkan Darurat Militer di Aceh
Pukul 00.00 WIB, 19 Mei 2003. Malam mencekam di Aceh, setelah Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Susilo Bambang Yudhoyono mengumumkan pemberlakukan status Darurat Militer. Konsekuensi dari pemberlakuan status Darurat Militer, Presiden Megawati Sukarnoputri mengizinkan pengiriman 30.000 pasukan TNI dan 12.000 personel polisi ke Aceh. Ini merupakan pengerahan pasukan dan armada perang terbesar Indonesia sejak penempatan militer di Timor Timur pada 1976.
Sejak 19 Mei itu, hari-hari di Aceh menjadi kelam. Truk reo yang berisikan pasukan bersenjata tempur hilir-mudik di jalan. Pesawat Bronco tak ketinggalan. Mereka menggempur gunung dan perbukitan yang diklaim tempat bersembunyinya pasukan Gerakan Aceh Merdeka.
Aceh berubah jadi daerah perang. Aktivis mahasiswa dan sipil yang biasanya lantang berteriak menentang kebijakan militeristik, kali ini dipaksa tiarap serta diam dan dibungkamkan. Tak sedikit di antara mereka yang ditangkap. Tak sedikit pula, aktivis harus mengungsi dan keluar dari Aceh.
Pusat memberlakukan darurat militer sebagai jawaban atas gagalnya proses perundingan dengan Gerakan Aceh Merdeka. Pada 28 April 2003, Pemerintahan Indonesia, dibawah pimpinan Megawati memberikan waktu dua pekan bagi GAM untuk mengakhiri perjuangan mereka menuntut merdeka dan menerima otonomi khusus. Namun, GAM menolak mentah-mentah tawaran tersebut.
Perundingan kedua belah pihak pun memanas. Hal ini disebabkan karena tidak tercapai kata sepakat. Sementara di lain pihak, Amerika Serikat, Jepang, dan Uni Eropa mendesak agar Indonesia dan GAM kembali ke meja perundingan.
Pertemuan Tokyo (Tokyo Meeting) yang akan digelar pada 17-18 Mei 2003 menjadi satu-satunya harapan perdamaian Aceh. Namun, GAM tetap bersikeras tidak menerima otonomi khusus. Tawaran ini kembali dipertegas Pusat pada 16 Mei. “Otonomi khusus merupakan solusi akhir dan final bagi penyelesaian konflik Aceh. Jika tidak, GAM akan menghadapi penyerangan militer,” demikian ultimatum yang dikeluarkan Pemerintah Pusat.
Tentu saja, GAM tak menghiraukan ultimatum Indonesia. Lima juru runding GAM yang hendak menuju ke Bandara Sultan Iskandar Muda, ditangkap begitu keluar dari Hotel Kuala Tripa, tempat yang selama ini dijadikan markas para juru runding GAM dan Pemerintah Indonesia.
Kengototan GAM ini menelurkan Keputusan Presiden Nomor 28/2003 yang mengizinkan Aceh menjadi daerah perang. Aceh berada di bawah kuasa militer. Saban hari, operasi militer digelar. Kantung-kantung persembunyian GAM diobrak-abrik. Tak hanya menyerbu melalui jalur darat, pasukan pemerintah juga membombardir pegununan dan bukit di kawasan Aceh Besar dan Aceh Utara dengan pesawat tempur.
Rakyat Aceh juga masih ingat betul ketika pesawat menjatuhkan bom di kawasan Cot Keu-eueng, Aceh Besar. Masih juga belum lekang diingatan deru reo membelah kesunyian malam ketika kami tengah dikejar deadline di Tabloid Beudoh, sebuah tabloid yang dikelola aktivis mahasiswa. Belakangan, tabloid ini dibredel Penguasa Darurat Militer Daerah karena menurunkan laporan ajakan untuk menolak pemilihan umum yang akan digelar pada awal 2004.
Media dan wartawan kala itu tak leluasa menurunkan laporan apa adanya. Bahkan, Penguasa Darurat Militer Pusat Megawati Sukarnoputri mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 43/2003 yang membatasi ruang gerak wartawan.
Keputusan ini dijabarkan oleh Penguasa Darurat Militer Daerah Mayjen Endang Suwarya, yang melarang wartawan untuk memberitakan tentang: (1) Kode khusus atau sandi pasukan, pesawat, kapal serta kode atau sandi prosedur operasi tetap dan kode perhubungan; (2) Informasi rencana yang akan datang, (3) Instansi militer tertentu yang ditentukan oleh komando operasi; (4) Gambar daerah instalasi militer; (5) Informasi intelijen yang berkaitan dengan kegiatan teknis, taktis dan prosedur internal; (6) Informasi maupun propaganda musuh.
Tentu saja, maklumat ini berimbas pada tidak bebasnya wartawan dalam memberitakan berbagai kejadian di daerah perang. Nyaris tidak ditemukan di halaman media massa –baik lokal dan nasional– soal kekejaman yang ditimbulkan perang. Padahal, diperkirakan lebih 2.800-an orang tewas dalam perang antara kurun 2003 hingga 2005.
Tak hanya membatasi gerak jurnalis, PDMD juga mengeluarkan kebijakan yang sangat diskriminatif pada Juni 2003. Kala itu, Endang Suwarya menginstruksikan kepada seluruh masyarakat Aceh untuk membekali diri dengan kartu tanda penduduk (KTP) Merah Putih. KTP khusus warga Aceh ini berukuran sekitar 13 x 10 sentimeter. Di bagian muka berwarna merah dan putih, lengkap dengan gambar Garuda dan isi Pancasila. Setelah ditandatangani camat, KTP Merah Putih diverifikasi oleh komandan Koramil.
Pemberlakuan Darurat Militer sejatinya berakhir pada 18 November 2003. Namun, Megawati memperpanjang status perang itu hingga 18 Mei 2004 melalui Keputusan Presiden No 97/2003. Setelah setahun lamanya, baru pada 19 Mei 2004 Presiden Megawati menurunkan status Aceh menjadi Darurat Sipil. Status ini pun bertahan setahun, hingga akhirnya pada 15 Agustus 2005, Indonesia dan GAM bersepakat untuk mengakhiri konflik yang terjadi sejak Desember 1976 itu. Konflik itu berkahir dengan lahirnya kesepakatan MoU Helsinki.
Kini, Aceh telah memulai lembaran baru: hidup dalam nuansa damai setelah dilanda oleh konflik yang berkepanjangan dan dihantam oleh mega musibah bernama gempa dan tsunami. Tentu saja, kita tidak berharap agar prahara tersebut terulang kembali di Aceh dan perang terjadi kembali menjadi tuan di negeri yang bertuah dan bersyariat Islam ini. Semoga.
Jum’at, 19 Mei 2017.
Penulis
Chaerol Riezal
Mahasiswa Program Studi Pendidikan Sejarah asal Aceh-Nagan Raya. Email: [email protected]
Discussion about this post