Jakarta – Hamparan tanaman ganja tumbuh subur di kawasan perbukitan, Kabupaten Aceh Besar, Aceh. Untuk menyisirnya, diperlukan waktu berjam-jam membelah hutan dan juga mengerahkan satelit canggih.
Direktur IV Tindak Pidana Narkotika Bareskrim Eko Daniyanto menceritakan 28,5 hektare ladang ganja ditemukan dalam waktu dua hari. Kondisi tanaman yang secara ilmiah dikenal dengan nama cannabis sativa ini diperkirakan siap panen dalam waktu dua pekan.
“Itu ganja siap panen semua. Sepertinya sudah seminggu lebih tidak tengoki ladangnya karena tidak ada bekas aktivitas. Tingginya tanaman 2,7 meter,” kata Eko yang memimpin langsung perburuan ladang ganja ini ketika berbincang dengan detikcom, Jumat (19/5/2017).
Menurut dia, tidak ada satu pun tersangka yang dapat dimintai pertanggungjawabannya terkait keberadaan ladang tersebut. Kepolisian sulit menangkap basah petani maupun pengendali ladang ganja karena sindikat memiliki banyak mata-mata.
“Ada pasti yang kendalikan namun sindikat ganja sulit ditangkap baik terhadap petaninya maupun pemilik lahan karena saat kami masuk lokasi saja informasi mereka sudah sampai ke pemilik,” ungkap Eko.
Menurut Eko, polisi tidak dapat melakukan penyisiran terhadap perkampungan itu karena ada aturan adat yang harus dihormati. “Di sana adatnya beda. Kampung ini ramai, nggak mungkin kami sisir semua. Yang saya lakukan, kalau pun kami tidak dapat tersangkanya, yang penting kami musnahkan 28,5 hektare lahannya,” kata dia.
Mantan Direktur Reserse Narkotika Polda Metro Jaya ini memaparkan timnya awalnya menemukan 16 hektare ladang ganja di lereng bukit Desa Mesale, Kecamatan Indrapuri, Indrapuri, Kabupaten Aceh Besar, Aceh, pada Senin 15 Mei 2017. Selang sehari, Selasa 16 Mei 2017, polisi menemukan lagi 12,5 hektare ladang ganja di wilayah lereng perbukitan yang sama.
“Saya sampai di sana, saya berangkat ke lokasi dari pukul 08.00 WIB pagi sampai pukul 09.30 WIB. Lalu jalan lagi ke lereng-lereng bukit, naik ke bebatuan, gersang, melewati hutan rotan, lalu masuk bekas hutan produktif, turun lereng yang licin, lalu menyeberangi sungai. Besoknya, kami naik lagi ke daerah yang lebih tinggi dan menemukan lagi,” cerita Eko.
Eko membeberkan modus sindikat ganja adalah membuat ladang di lereng-lereng perbukitan yang dekat dengan sungai. Alasan pertama, karena ganja tumbuh subur di dekat daerah aliran sungai. Alasan selanjutnya, ganja ditanam di lereng agar tak mudah ditemukan orang.
“Tanaman ganja itu modusnya biasanya ditanam di lereng deket sungai karena suburnya di situ dan kalau di lereng kan nggak akan terlihat,” ucap dia.
Penemuan ladang ganja ini berasal dari pengembangan penyidikan kasus sindikat ganja dengan 7 tersangka dan barang bukti seberat 850 kilogram pada Desember 2016 lalu “Jadi sebelum datang itu kami mapping (petakan) dulu. Mapping ini kami awali dari ungkap kasus yang 850 kilo di bulan Desember. Yang tersangkanya kami tahan 7 orang tapi melarikan diri. Yang kami kejar sampai Sukabumi,” ujar dia.
Berdasarkan hasil pengembangan, Eko meminta bantuan kepada Deputi Penginderaan Jarak Jauh Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan), untuk membidik citra daerah perbukitan serta pegunungan di Aceh Besar melalui satelit.
“Dari sindikat itu, kami tahu mappingnya tentang jaringan di Aceh. Kami kerja sama dengan Polda Aceh terkait lokasi-lokasi yang diduga adanya tempat ladang ganja. Polda Aceh menyelidiki ke Aceh Besar dan saya ke Deputi Penginderaan Jarak Jauh Lapan, Ibu Orbita. Akhirnya kami dapat gambar tentang posisi yang diduga adanya ladang ganja di Aceh,” terang Eko.
Eko menggambarkan ada bagian perbukitan yang berwarna hijau tua dan hijau muda. Hijau tua dapat diartikan daerah tersebut masih berupa hutan dengan pohon-pohon besar, sementara hijau muda artinya lahan pertanian atau perkebunan.
“Dari satelit kami hanya tahu, oh ini lokasi ladang-ladang, tapi belum bisa kami pastikan. Lalu anggota Polda Aceh menyelidiki ke lapangan, berjalan 1,5 jam ke lereng, ternyata betul ada ladang ganja. Itu kaya modelnya kayak perkebunan,” ujar Eko. | sumber: detik
Discussion about this post