MEDIAACEH.CO, Kualalumpur – Ketua Fraksi Partai Aceh DPRA Iskandar Usman Al-Farlaky, SHI, menyampaikan soal perkembangan MoU Helsinki dan masa depan damai Aceh saat menjadi Keynote Speaker di Konferensi Internasional yang dilaksanakan Universitas Kebangsaan Malaysia (UKM), Selasa 16 Mei 2017.
Selain itu, politisi Partai Aceh ini juga menyampaikan terkait perkembangan serta kendalan pelaksanaan Syariat Islam di Aceh.
Konferensi internasional tersebut dihadiri oleh mahasiswa dari Persatuan Siswazah Hadhari UKM dan Pasca Sarjana UIN Ar-Raniry serta dibuka Prof Dato' Noor Aziah Hj Mohd Awal, Timbalan Naib Canselor Hal Ehwal Pelajar dan Alumni UKM.
Konferensi berlangsung di Ballroom Hotel Puri Pujangga Bangi, Selangor Darul Ihsan, Malaysia. Selain Iskandar, turut juga menjadi pembicara dalam forum tersebut Prof Dr Farid Wajdi Rektor UIN Ar-Raniry dan Prof Dr Rusjdi Ali Muhammad Direktur Pasca Sarjana UIN Ar-Raniry.
Mantan Ketua Banleg DPRA menyampaikan, bahwa perjanjian damai di Aceh terwujud setelah adanya MoU Helsinki yang diprakarsai Marthi Artisari, mantan presiden Finlandia. Namun, butir yang terdapat dalam MoU tersebut menurutnya tidak sepenuhnya dijalankan Jakarta, sehingga melunturkan kepercayaan publik Aceh terhadap Jakarta.
“Sebenarnya Ikrar Lamteh menjadi sejarah suram di Aceh. Kita mencoba sampaikan ke dunia internasional MoU Helsinki apakah akan demikian pula, “katanya.
Di hadapan para mahasiswa kedua negara, politisi Partai Aceh ini menyampaikan Pemerintah Indonesia terkesan tidak serius menjalankan seluruh butir MoU Helsinki, terkesan seperti setengah hati. Mantan aktivis ini meminta pihak mahasiswa yang ada di Malaysia dan Asia Tenggara mendorong terkait permasalahan tersebut agar segera diwujudkan sehingga tidak ada pihak yang dirugikan serta perdamaian menjadi riskan.
Dalam orasinya yang juga dihadiri Prof Dato' Mohd Yusof Hj Othman, Pengarah Institut Islam Hadhari UKM), juga menyinggung soal perkembangan Syariat Islam di Aceh. Ia mengatakan, penerapan Syariat Islam kerap mendapat intervensi dan gugatan dari LSM asing yang mengatakan tidak sesuai dengan HAM dan kebebasan.
“Mereka melakukan protes ada yang menempuh jalur pengadilan terkait qanun jinayat ada yang protes via surat dan datang langsung ke penyididik. Tapi kita tidak gentar, penegakan hukum Syariat harus diteruskan. Itu lah yang membedakan Aceh dengan daerah lain, yang tidak setuju dan teriak HAM silakan saja. Jangan atur-atur kewenangan Aceh yang bersifat khusus dan istimewa ini,” katanya.
Dengan begitu, sambung Iskandar, pelaksanaan Syariat masih terdapat kendala-kendala, salah satunya soal intervensi ini.
“Mohon dukungan seluruh sahabat-sahabat yang ada di Malaysia. Welcome ke Aceh, lihat langsung dan tolong bantu warga Aceh yang ada di Malaysia. Mohon kampanyekan ke dunia internasional soal Aceh,” katanya.
Iskandar Farlaky juga menyebutkan Aceh punya sejarah panjang dengan Malaka melalui kerajaan Peureulak. Sulthan Peureulak yang ke-17 Sulthan Makhdum Alaidin Malik Muhammad Amin Shah II Johan Berdaulat untuk mengembangkan politik persahabatan, sulthan menikahkan puterinya Ratna Kamala dengan raja Malaka Sulthan Muhammad Shah.
“Kita ada hubungan serumpun yang harus saling menjaga demi perubahan, kemajuan zaman di masa hadapan, ” demikian Iskandar Usman Al-Farlaky.[]
Discussion about this post