MEDIAACEH.CO, Jakarta – Industri e-commerce dalam negeri tengah menggeliat. Dalam data statistik yang dikeluarkan emarketer di tahun 2016 jumlah konsumen e-commerce mencapai 8,6 juta. Angka tersebut terus mengalami tren positif setelah di tahun sebelumnya 7,9 juta orang tercatat belanja melalui internet, sedang di tahun 2015 sebanyak 5.9 juta orang bertransaksi. Begitu masif industri e-commerce tanah air didorong oleh pasar dalam negeri yang sangat luas dengan jumlah penduduknya sebanyak 250 juta jiwa.
Tidak tanggung-tanggung nilai transaksi e-commerce dalam negeri tahun 2016 mencapai US$ 4,89 miliar atau sekitar lebih dari Rp 68 triliun. Nilai transaksi tersebut naik US$ 1 miliar lebih dari tahun 2015 yang mencatatkan transaksi sebesar US$3,56 miliar. Jumlah ini diprediksi akan terus meningkat mengingat generasi Z yang sudah sangat akrab dengan gawai akan mendorong pesatnya pertumbuhan industri ecommerce. Hingga 2020 mendatang, nilai ekonomi digital diprediksi bisa mencapai US$ 130 miliar. Ini setara dengan 11% dari total produk domestik bruto nasional.
Namun dibalik pesatnya pertumbuhan e-commerce, regulasi pajak untuk transaksi daring belum tertuang dalam sebuah undang-undang. Menurut anggota Kimisi XI Donny Priambodo, pungutan pajak untuk industri e-commerce saat ini masih berdasarkan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE/62/PJ/2013 tentang Penegasan Ketentuan Perpajakan Atas Transaksi e-Commerce. Perusahaan e-commerce tetap dibebankan Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN) serta pajak untuk usaha rintisan (start-up).
“Pasti kena pajak, tapi kan dapat keringanan setelah setelah paket kebijakan ekonomi ke XIV. E-commerce beromset di bawah Rp. 4,8 miliar dikenakan pajak final 1%. Sedang objek dan subjek pajak lain sama saja,” kata anggota Kimisi XI Donny Priambodo dalam siaran pers yang diterima mediaaceh.co, Senin 15 Mei 2017.
Mengacu pada UU Pertambahan Nilai (PPN), potensi pendapatan pajak dari industri e-commerce 2020 10% dari nilai ekonomi digital yakni US$ 13 miliar. Menurut Donny, angka tersebut masih perhitungan kasar saja sebab kedepannya industri ekonomi digital mendapatkan keistimewaan. Tarif pajak akan dibuat menurut tingkat keekonomisan harga objek pajak di pasaran. Hal ini dilakukan supaya industri ekonomi digital dalam negeri tidak kehilangan daya saing dibanding perusahaan serupa dari luar negeri.
“Rencananya akan diatur dalam revisi UU KUP, tariff pajak e-commerce diwacanakan akan dikenakan tarif flat semisal 2-3%,” imbuhnya.
Pajak ekonomi digital diakuinya sudah menjadi pembahasan di komisi XI jauh sebelum pembahasan UU Tax Amnesty. Regulasi yang sekarang diberlakukan untuk e-commerce belum mengcover aturan hulu dan hiilir industri ekonomi digital. Oleh karenanya aturan pajak untuk ekonomi digital akan dimasukan dalam regulasi setingkat undang-undang berbarengan dengan reformasi perpajakan dengan merevisi UU Ketentuan Umum Perpajakan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penghasilan.
“Lebih baik dimasukan dalam UU, bahwa e-commerce dikenakan pajak yang diatur tarifnya oleh dirjen pajak,” pungkasnya.[]
Discussion about this post