Jakarta- Bunga-bunga anggrek bermekaran. Bibit-bibit spesies anggrek Nusantara tersemai di pot-pot kecil, sebagian besar mulai tumbuh.
Di Green House Institute Pertanian Bogor (IPB), Feryan Fernanda, tengah sibuk mencatat pertumbuhan anggrek mutiara atau Anoectocillus brevillabris. Anggrek berhabitat di Indonesia ini memiliki berfungsi sebagai tanaman obat.
Melalui bimbingan dosen pengampu, Dewi Sukma, tiga bulan sudah Feryan melakukan pembudidayaan tanaman tersebut sebelum dipindahkan ke laboratorium untuk eksperimen kultur jaringan.
Feryan adalah mahasiswa semester enam program studi Agronomi dan Hortikultur Fakultas Pertanian IPB. Ia terjaring melalui program Afirmasi Pendidikan Tinggi (ADik) Direktorat Jenderal Pembelajaran dan Kemahasiswaan Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi.
Lelaki kelahiran Bayeun, Aceh Timur, 2 Februari 1997 ini mengaku kesempatan menempuh pendidikan tinggi ini adalah karunia tersendiri. “Saya lahir dan besar di zona merah dari konflik separatis Aceh tahun 1979-2005. Kami yang tinggal di sana, tidak punya waktu dan akses pendidikan. Di saat orang-orang ingin berperang, saya ingin sekolah, di tengah segala keterbatasan,” terangnya saat ditemui Senin (8/5).
Memilih pertanian sebagai jalan hidup, nyatanya membawa Feryan pada berbagai pencapaian. Baru-baru ini, ia meraih predikat honorable mention pada Pemilihan Mahasiswa Berprestasi IPB 2017. Kemampuan bahasa Inggris yang baik juga mengantarkannya menjadi Runner-Up National University Debating Champhionship 2016 di Palembang.
Dari sisi akademik, ia pun cemerlang dengan mengantungi indeks prestasi kumulatif 3,74. Pembimbing akademiknya, profesor Sandra Arifin Aziz menuturkan, Feryan adalah sosok mahasiswa yang progresif dan terus mengasah diri.
“Semangat belajar dan rasa ingin tahunya tinggi. Dia juga gemar berdiskusi, terutama soal ide-de karya ilmiah yang akan diikutkan dalam kompetisi,” papar profesor bidang ekofisiologi tanaman itu.
Cita-cita Feryan adalah menjadi ilmuwan, tepatnya hortikulturis. Jika kelak lulus sarjana nanti, ia ingin melanjutkan studi magister di Belanda dan ingin meneliti fokus kepada metabolisme sekunder tanaman obat. Kelak, ia ingin mengabdikan ilmu bioteknologi itu ke Aceh.
“Dengan pengetahuan saya tentang metabolisme sekunder tanaman, saya bisa manfaatkan tumbuhan-tumbuhan yang ada di Aceh sebagai obat dan itu berbasis sumber daya lokal Aceh. Lewat cara itu, Aceh bisa mendorong pembangunan bangsa melalui pertanian,” tuturnya penuh antusias.
Sebagai putera daerah yang berasal dari pelosok Aceh, awalnya Feryan merasa bahwa kultur akademiknya tertinggal dengan kawan-kawan lainnya di kelas. Sadar akan hal itu, ia justru menempa dirinya lebih keras.
“Saya sering mengunjungi perpustakaan, lebih banyak belajar, dan rajin bertanya kepada dosen. Sampai pernah ada dosen yang kesel,” kelakarnya.
Karakternya yang penuh percaya diri membuat ia mudah diterima dalam pergaulan di kampus. Tidak ada rasa minder sama sekali, terlebih ia percaya bahwa IPB adalah kampus yang memberikan ruang bagi keragaman sehingga semua mahasiswa memiliki peluang sama untuk sukses.
“Tidak ada pengaruh meski kamu dari Aceh, Papua, Kalimantan, Sulawesi, atau Jawa. Kita semua adalah mutiara terbaik bangsa ini, tinggal bagaimana kita mengasahnya saja,” kata Feryan. | sumber: cnnindonesia.com
Discussion about this post