MEDIAACEH.CO, Banda Aceh, – Koordinator KontraS Aceh, Hendra Saputra, mengatakan salah satu butir yang disepakati dalam MoU Helsinki adalah segera diberlakukannya UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Dalam UU tersebut, juga diatur secara tegas tentang pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh yang ditindaklanjuti dengan lahirnya Qanun Aceh tentang KKR Aceh atau Qanun Nomor 17 Tahun 2013.
“Keberadaan KKR Aceh ini diharapkan mampu menjadi pendorong lahirnya kebijakan yang menjamin pemenuhan hak-hak korban. Hal ini merupakan bagian penting yang harus diperhatikan untuk memastikan adanya keadilan bagi korban. Dalam prosesnya, muncul banyak perdebatan di berbagai forum terkait dengan legalitas atau dasar hukum pembentukan, ruang lingkup kewenangan, anggaran, dan hal-hal lain yang bersifat teknis lainnya,” ujar Hendra dalam rilisnya.
Namun, katanya, putusan Mahkamah Kontitusisi dengan Nomor Perkara 006/PUU IV/2006 dan 020/PUU IV/2006 tentang pengujian UU NO 27 Tahun 2004 Tentang KKR terhadap UUD 1945 dalam putusan MK tersebut salah satu point penting yangg menyatakkan 'dengan dinyatakannya UU KKR tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara keseluruhan' tidak berarti Mahkamah menutup upaya penyelesaian pelanggaran HAM berat di masa lalu melalui upaya rekonsiliasi.
“Banyak cara yang dapat ditempuh untuk itu, antara lain dengan mewujudkan rekonsiliasi dalam bentuk kebijakan hukum (undang-undang) yang lebih serasi dengan UUD 1945 dan instrumen HAM yang berlaku secara universal, atau dengan melakukan rekonsiliasi melalui kebijakan politik dalam rangka rehabilitasi dan amnesti secara umum. Jadi seharusnya putusan MK tersebut menjadi landasan hukum bagi kita semua dalam menyikapi keberadaan KKR Aceh,” kata Hendra lagi.
Katanya, keberadaan Qanun Aceh Nomor 17 Tahun 2013 tentang KKR Aceh merupakan solusi yang paling tepat dilakukan oleh pemerintah Aceh dalam upaya untuk melakukan penyelesaian dan pemenuhan terhadap hak-hak korban pelanggaran HAM dimasa lalu dalam rangka mendorong terwujudnya perdamaian abadi di Aceh, walaupun dalam proses pengesahan qanun KKR Aceh pemerintahan Aceh harus menempuh jalan yang sangat berliku.
“Capaian penting ini juga terus dilakukan oleh pemerintah Aceh dengan membentuk panitia seleksi calon anggota KKR Aceh yang telah berhasil menetapkan 7 orang Komisioner KKR Aceh melalui rapat paripurnan istimewa DPR Aceh yang puncaknya pada tanggal 24 Oktober 2016 Gubernur Aceh melakukan pelantikan terhadap 7 orang Komisioner KKR Aceh dengan no SK,” ujar Hendra.
Namun demikian, kata Hendra, sungguhpun Qanun KKR Aceh telah disahkan dan Komisioner KKR Aceh telah dilantik, akan tetapi sampai saat ini masih dihadapi dengan berbagai hambatan. Salah satunya yang menjadi hambatan penting terkait dengan pelaksanaan anggaran kerja 2017.
“KKR Aceh saat ini sudah memiliki anggaran 5 miliar yang ditempatkan dalam Daftar Perincian Anggaran (DPA) SKPA Dinas Sosial akan tetapi anggaran tersebut belum bisa digunakan sepenuhnya karena hingga saat ini belum adanya ketegasan tekait dengan penggunaan anggaran dari ketua Tim Anggaran Pemerintah Aceh (TAPA). Dimana KKR Aceh sendiri lagi kini sedang memfokuskan diri dalam pembentukan kelembangaan. Selain itu, yang menjadi hambatan lainnya dalam mendukung kerja-kerja KKR Aceh hingga saat ini KKR Aceh belum memiliki instrument hukum berupa peraturan gubernur tentang pengelolaan kesekretariatan sejak pasca 6 bulan dilantik,” ujarnya.
Sementara itu, Direktur YLBHI LBH Banda Aceh Mustiqal Syah putra menambahkan, seharusnya ketentuan dalam Pasal 242 UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang UUPA, bisa menjadi solusi untuk menghambat terkait dengan ketidakpastian hukum (pergub) yang mengatur tentang kesekretariatan dan anggaran KKR Aceh.
“Maka oleh karena ini kami meminta kepada pemerintah Aceh untuk melakukan hal-hal yang diperlukan untuk menjamin terlaksananya seluruh agenda penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu di Aceh dan mendukung secara nyata pelaksanaan tugas pokok dan fungsi Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh melalui pergub tentang tatalaksana kesekretariatan KKR Aceh dan kepastian anggaran yang memadai untuk pelaksanan tugas sesuai tupoksi,” ujarnya.
“Untuk itu kami juga meminta kepada pihak tertentu untuk tidak mengeluarkan pernyataan-pernyataan yang mampu mencederai perasaan korban dan sekaligus mengajak seluruh element yang ada di Aceh untuk bisa mendukung penuh kerja-kerja KKR Aceh dalam rangka mendorong terpenuhinya rasa keadilan bagi korban pelanggaran HAM di Aceh demi terwjudnya perdamaian yang abadi serta dapat menjadi modal terbaik untuk mendorong adanya mekanisme nasional ditengah kebuntuannya penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu di Indonesia.
Juga kepada TAPA untuk bisa segera memberikan kepastian anggaran kepada KKR Aceh dalam melakukan pengelolaan anggaran, menginggat masa kerja KKR sudah 6 bulan akan tetapi serapan anggarannya tidak bisa digunakan,” ujar Mustiqal.[]
Discussion about this post