KEGEMARAN minum kopi di Aceh sudah melekat bagi masyarakat, tentunya memiliki riwayat sejarah yang panjang. Minum kopi bagi warga Aceh dapat menjadi suntikan energi dan semangat untuk memulai aktivitas di pagi hari.
Namun seiring dengan padatnya aktivitas, maka segelas kopi di pagi hari serasa tidak cukup untuk mengurangi rasa lelah dan kantuk, sehingga kebiasaan minum kopi tidak hanya dilakukan di pagi hari saja.
Istilah kopi berasal dari kata coffee yang berasal dari bahasa Inggris pada tahun 1582, lalu dalam bahasa Turki disebut kahve, dan dalam bahasa Arab disebut Qahwah. Awalnya kopi muncul dalam peradaban manusia pada abad ke-10 di Ethiopia.
Pada abad ke-15, kopi dikenal sebagai minuman kelompok sufi di Yaman—tareqoh Syadshilliyah, meluas ke kawasan Timur Tengah, India Selatan, Persia, Turki, Tanduk Afika, dan Afrika Utara pada ke abad ke-16 dan kemudian kopi dinikmati di Balkan, Italia, Indonesia, benua Eropa, dan benua Amerika.
Penduduk Aceh memiliki hubungan kekerabatan dengan bangsa Arab, terutama Turki, Persia, dan Yaman serta bangsa India. Hal ini dapat dibuktikan dari ciri-ciri wajah orang Aceh, makanan khas yang banyak mengandung rempah, dan kebiasaan minum kopi.
Kebiasaan minum kopi tersebut menjadi salah satu penyebab adanya tradisi minum kopi di Aceh sampai sekarang. Banyak orang percaya bahwa kebiasaan minum kopi dibawa oleh pendatang dari Turki pada masa kejayaan kerajaan Aceh.
Bagi warga Aceh, tradisi duduk di warung kopi sudah sangat mendarah daging. Kebutuhan untuk bertemu, duduk bersama, membaca surat kabar dan bertukar informasi sudah menjadi hal yang lumrah terjadi dalam kehidupan masyarakat Aceh.
Duduk di warung kopi telah menjadi ajang silaturrahmi bagi masyarakat Aceh, karena warung kopi dapat dijangkau oleh seluruh lapisan masyarakat dan mampu menjadi penghubung antara satu golongan masyarakat dengan golongan masyarakat yang lain. Inilah yang membuat warung kopi memberikan kesan istimewa bagi masyarakat Aceh.
Tradisi minum kopi mulanya sering kita dapati di kalangan kaum dewasa, namun sekarang tradisi minum kopi tidak hanya menjadi kebiasaan orang dewasa, tapi juga pada remaja, remaja biasanya menghabiskan waktu di warung kopi bukan karena ingin menikmati bagaimana hangatnya menyeruput kopi, tetapi karena fasilitas dan kenyamanan di warung kopi yang membuat mereka betah untuk menghabiskan waktu sepanjang hari.
Kebiasaan remaja yang menghabiskan waktu di warung kopi mulanya terjadi karena warung kopi yang kini sudah dikemas dengan olahan modern, baik dari bangunan fisik maupun penyediaan fasilitas yang semakin lengkap, seperti AC, dan Wi-Fi.
Selain itu, letak warung kopi sekarang sangatlah strategis, banyak warung kopi yang mengambil lokasi pemasarannya di kawasan pertokoan. Selain itu, jika dulu di atas meja hanya terdapat beberapa gelas kopi saja, sekarang terlihat pula beberapa alat media seperti laptop, tablet, dan gadget yang dapat digunakan karena adanya fasilitas Wi-Fi.
Eksistensi warung kopi ber-WiFi ini menjadi potret baru dalam kurun waktu terakhir. Dari pendataan yang dilakukan oleh pihak Dishubkominfo kota Banda Aceh bekerjasama dengan PT. Telkom, tercatat sebanyak 102 warung kopi yang berfasilitas Wi-Fi tersebar di 9 kecamatan di kota Banda Aceh.
Fasilitas Wi-Fi yang tersedia kini membuat warung kopi berfungsi ganda yaitu sebagai warkop dan warnet sekaligus, dimana pengunjungnya menghabiskan waktu lebih lama minimal dua jam dan maksimalnya tidak terukur.
Para pengunjung warung kopi biasanya membentuk suatu komunitas. Masing-masing warung kopi di Aceh selalu ada pengunjung khasnya seperti warkop Jasa Ayah, yang merupakan warkop tertua di Aceh biasanya dinikmati para pebisnis dan politikus “kaum tua”.
Begitu juga di tempat lainnya, terlihat banyak pengunjung warung kopi yang masuk dengan menyandang tas berisi laptop, gadget di tangan, dan ketika masuk memesan minum sembari mengakses internet melalui Mozilla Firefox atau Google Chrome, seakan sudah berada diposisi high class dalam masyarakatnya.
Kenyamanan fasilitas di warung kopi yang diikuti dengan paradigma masyarakat bahwa duduk di warung kopi menunjukkan posisi high class akan berdampak pada kecanduan duduk di warung kopi terutama bagi remaja, apalagi dengan fasilitas warung kopi yang semakin membaik.
Warung kopi tersebut berbeda dengan warung kopi yang dulunya hanya berupa kedai kayu dengan dilengkapi kursi dan meja seadanya di kampung-kampung, sekarang warung kopi telah berubah menjadi caffe yang tidak hanya dilengkapi Wi-Fi dan AC, tapi juga dengan latar ruangan yang sangat menarik, elegan, dan eksotis. Hal ini menjadi alasan bagi remaja untuk berlama-lama menghabiskan waktu di warung kopi.
Kecanduan minum kopi pada remaja terjadi karena telah dibiasakan dari usia yang lebih muda dibandingkan generasi sebelumnya.
Menurut National Coffee Association, dalam delapan tahun terakhir konsumsi kopi harian di kalangan usia 18-24 tahun naik dari 34% menjadi 48%, dan di kalangan usia 25-39 tahun naik dari 51% menjadi 60%. Sementara itu jumlah orang dewasa yang minum kopi setiap hari diatas 40 tahun justru semakin menurun.
Bagaikan kopi yang tidak dapat dipisahkan dengan rasa pahit yang memang sudah menjadi khas dari kopi itu sendiri, begitu juga dengan dampak dari minum kopi dan duduk di warung kopi yang juga tidak dapat dipisahkan dari remaja sekarang ini. Baik itu dampak pada kesehatan fisik ataupun pada peradaban remaja di masa yang akan datang.
“Efek jangka panjang dari minum kopi pada remaja masih belum diketahui, tapi ada potensi dampak kesehatan akut yang mungkin terjadi akibat kebiasaan minum kopi di usia remaja,” kata Marci Clow seorang ahli gizi dari Rainbow Light.
Kafein yang terkandung dalam kopi dapat memberi dampak pada kesehatan fisik remaja. Kafein dapat mempengaruhi kualitas tidur yang tentunya sangat penting bagi perkembangan otak dan pertumbuhan remaja, kafein juga terbukti meningkatkan tekanan darah dan detak jantung serta memiliki efek diuretik ringan. Berhubung kopi merupakan stimulan yang dapat menekan nafsu makan, minum kopi terlalu banyak dapat mengurangi nafsu makan sehingga remaja tidak mendapatkan asupan makanan kaya gizi yang tentunya sangat diperlukan oleh tubuh.
Lantas, apa dampak minum kopi terhadap kecanduan? Tentu, jika kita mulai mengonsumsi kopi di usia muda maka semakin lama remaja akan semakin tenggelam di dalamnya.
“Mayoritas riset terhadap ketergantungan kafein dilakukan pada orang dewasa, tetapi jika seseorang mulai minum kopi di usia remaja, maka ia mungkin mengalami ketergantungan lebih dini,” kata Clow.
Terlepas dari dampak minum kopi, berlama-lama duduk di warung kopi juga memberi dampak buruk bagi remaja. Dibalik nikmatnya rasa kopi yang khas, terdapat rasa pahit yang selalu ada dan sudah menjadi ciri khas bagi semua jenis kopi yang ada. Bahkan terkadang, rasa pahit pada kopi tidaklah diartikan sebagai rasa pahit yang kebanyakan orang tafsirkan, misalnya obat yang rasanya pahit. Kopi justru diartikan sebagai sebuah kenikmatan namun tetap saja terdapat unsur rasa pahit didalamnya.
Menjamurnya warung kopi di Aceh dengan keadaan dan fasilitas warung kopi yang memadai telah menjadikannya sebagai warung multifungsi yaitu sebagai warkop dan warnet. Keadaan ini dapat memberi celah bagi remaja untuk terjerumus dalam dampak buruk dari duduk di warung kopi. Dampaknya yaitu dapat mempengaruhi proses sosialisasi dan kepekaan remaja terhadap lingkungan.
Ketika remaja duduk di warung kopi dengan fasilitas mengakses internet gratis, maka tidak menutup kemungkinan bahwa informasi yang diakses adalah informasi negatif yang tidak sesuai dengan usia dan latar belakang remaja yang kebanyakannya adalah pelajar dan mahasiswa.
Selain itu, kecanduan duduk berlama-lama di warung kopi juga membuat remaja menjadi lupa waktu, tidak melaksanakan peran dan kewajiban sebagaimana mestinya, dan lama-kelamaan akan tumbuh menjadi pribadi yang individualis. Hal ini terjadi karena mereka sudah terbiasa berhadapan dengan laptop ketika mereka menghabiskan waktu sepanjang hari di warung kopi.
Mereka menjadi pribadi yang hangat di dunia maya, tetapi menjadi pribadi yang tidak mampu bersosialisasi secara baik di dunia nyata. Keadaan seperti ini akan diperparah oleh situasi lingkungan yang acuh, dan orang tua yang tidak mengontrol anak mereka dengan baik.
Penulis: Nailur Rahmah, Mahasiswa Jurusan Psikologi Fakultas Kedokteran Unsyiah angkatan 2016
Discussion about this post