MEDIAACEH.CO, Jakarta – Koordinator Divisi Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch, Donal Fariz menyatakan bahwa legitimasi hak angket Dewan Perwakilan Rakyat kepada Komisi Pemberantasan Korupsi sudah lemah secara politik dan hukum. Dengan demikian, dia menilai hak angket tak bisa dilanjutkan ke pembentukan panitia khusus.
Donal menguraikan, kelemahan hak angket secara politik bisa dilihat dari jumlah fraksi yang mendukung hak angket tersebut. Dari 10 fraksi yang ada di DPR, hanya empat fraksi yang mendukung hak angket, yakni PDIP, Golkar, NasDem, dan Hanura.
Menurut Donal, secara kalkulasi, mayoritas fraksi menolak hak angket kepada KPK itu terus bergulir. Fraksi yang menolak diantaranya PKS, Gerindra, PAN, PPP, PKB dan Demokrat.
“Kalau dihitung jumlah fraksi, fraski yang menolak hak angket lebih banyak ketimbang yang mendukung,” kata Donal di Jakarta, Sabtu (6/5).
Sementara itu, kelemahan secara hukum dapat dilihat dari pengertian hak yang tertuang dalam UU Nomor 17/2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (UU MD3).
Berdasarkan UU MD3 itu, Pasal 79 ayat (3) , hak angket adalah hak DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu undang-undang dan atau kebijakan Pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
Kemudian, dalam Pasal 201 ayat (2) undang-undang yang sama, menyatakan bahwa keanggotaan panitia angket terdiri atas semua unsur fraksi DPR. Mengingat, kata Donal, langkah setelah hak angket disetujui adalah pembentukan panitia khusus angket.
“Maka menurut saya sulit hak angket ini akan dilanjutkan, karena lemahnya legitimasi secara politik dan hukum,” jelas Donal.
Untuk itu, Donal meminta para dewan tak memaksakan kehendak politiknya untuk menjalankan angket kepada KPK ini. Terlebih, lanjut Donal, pengajuan angket yang dilakukan DPR itu tak bisa dilepaskan dari penanganan kasus dugaan korupsi proyek e-KTP.
Donal pun berharap, wakil rakyat di Senayan tak mencampuri dan membiarkan proses hukum penanganan kasus e-KTP dan dugaan keterangan palsu yang dilakukan anggota Komisi V DPR dari Fraksi Hanura Miryam S Haryani dituntaskan KPK.
Mengingat usulan hak angket ini mencuat saat KPK menggelar rapat kerja dengan Komisi III. Di mana beberapa anggota dewan meminta dibukanya rekaman pemeriksaan Miryam, yang mengaku mendapat ancaman dari koleganya di DPR.
“Angket tak bisa dilepaskan dari keberadaan perrjalanan kasus e-KTP,” tegasnya.
Sementara itu, pakar hukum pidana Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar mengaku heran dengan hak angket DPR kepada KPK, yang justru diusulkan fraksi pendukung pemerintah Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla.
“Keheranannya, kenapa fraksi pendukung pemerintah itu mendukung angket? Sasaran angket sebenarnya kan pemerintah,” kata Fickar.
Tak hanya itu, Fickar juga mencium gelagat bahwa angket kepada KPK ini ditunggangi oleh kepentingan segelintir orang, yang diduga berkaitan dengan pengusutan kasus dugaan korupsi e-KTP. Sehingga, lanjut dia, tak heran setelah hak angket diketok, ada sejumlah fraksi yang awalnya duku langsung balik badan.
“Conflict of interest-nya, di balik kepentingan umum itu ada kepentingan personal. Dalam konsep hukum korporasi dikenal istilah ultra vires yang artinya keputusan bisnis ditumpangi kepentingan direktur utamanya,” katanya.
Discussion about this post