MEDIAACEH.CO, Banda Aceh – Karena tidak sanggup menanggung derita hidup akibat penyakit yang dialaminya, Berlin Silalahi (46 tahun) korban tsunami Aceh berniat ingin melakukan suntik mati (Euthanasia).
Pengajuan itu diantarkan oleh istrinya Ratnawati (44 tahun) didampingi kuasa hukum Safaruddin YARA ke Pengadilan Negeri (PN) Banda Aceh Aceh, Rabu 3 April 2017.
Ratnawati menceritakan, pengajuan suntik mati itu bermula pasca penggusuran barak bakoy yang dilakukan oleh pemerintah kabupaten Aceh Besar. Ratna bersama suami dan dua orang anaknya merupakan salah seorang korban tsunami Aceh 11 tahun silam yang masih tinggal di tempat penampungan.
Paska peggusuran itu, ia dan keluarganya terpaksa menginap sementara di tempat saudara.
Ratna mengatakan, suaminya telah lama menderita penyakit kronis. Namun karena tidak sanggup lagi menahan derita hidup setelah penggusaran dan penyakit yang tak kunjung sembuh suaminya meminta untuk dilakukan suntik mati.
“Suami saya sudah putus asa jadi setelah pembongkaran kemarin dia mengambil keputusan seperti ini dan kami keluarga juga terkejut,” ceritanya pada sejumlah awak media.
Ratna menyebutkan, pasca terjadinya peembongkaran yang dilakukan pemkab Aceh Besar. Mereka terkejut dan tidak tahu ingin berbuat apa-apa karena tidak mempunyai tempat tinggal.
Ratna dan Berlin memiliki dua orang anak. Namun anak pertamanya berumur 11 tahun kini telah ia titipkan kepada orang lain. Sementara anak kedua yang masih berumur 6 bulan masih tinggal bersama mereka.
“Setelah berfikir karena tempat tinggal tidak ada lagi biaya hidup pun tidak ada dan anak tidak tahu pendidikan gimana bahkan anak saya yang pertama sudah saya berikan ke orang lain,” ujarnya.
Awalnya Ratna mengatakan, suaminya hanya menderita penyakit asam urat namun setelah dibawa berobat oleh saudara suaminya ke rumah sakit di Lhokseumawe ia menderita lumpuh.
“Setelah pulang dari sana balek ke Banda Aceh dan masuk ke rumah sakit Meuraksa akan tetapi setelah itu pun tidak ada perubahan. Sehingga terakhir masuk ke rsuza dan juga tidak sembuh,” ujarnya.
Suntik mati adalah keinginan suaminya. Ratna mengaku telah mencoba untuk menahan keputusan suaminya tersebut. Namun karena merasa frustasi menanggung beban hidup. Berlin Silalahi tetap bertekat ingin melakukan suntik mati tersebut.
Sementara itu, Humas PN Banda Aceh yang menerima laporan permohonan pengajuan tersebut, Edi mengatakan, pengajuan permohonan suntik mati (Euthanasia) itu tidak ada dasar hukum dan tidak ada di Indonesia.
Namun permohonan itu tidak bisa ditolak oleh pengadilan. Masalahnya bagaimana nanti hasilnya maka hakim yang memutuskan. Kendari demikian hukum euthanasia tidak dikenal dalam istilah hukum positif di Indonesia.
“Bagimana nanti apa hakim memutuskan itu kita lihat nanti. Yang jelas soal keputusan suntik mati ini saya tidak pernah dengar ada di Indonesia akan tetapi kalau di Belanda banyak,” katanya.
Di Indonesia secara kesuluruha tidak pernah mendengar Euthanisa ini. Kalau gugatan dan permohonan hakim tidak boleh menolak atas dsar 14ab. Hakim tidak boleh menolak perkara permohonan.
“Kita tetap menerima soal keputusan ditolak atau tidaknya itu nanti. Eutahanasia atau di suntik mati atas permintaan seseorang itu kita di Indonesia belum pernah namun hakim bertugas menggali hukum yang timbul di dalam masyarakat. Soal ini bagaimana kita lihat saja proses hukumnya nanti.” jelasnya.[]
Discussion about this post