MEDIAACEH.CO, Jakarta – Puluhan pekerja media dan industri kreatif yang tergabung dalam Forum Pekerja Media (FPM) menggelar aksi unjuk rasa dalam rangka memperingati Hari Buruh Sedunia yang jatuh pada hari ini, Senin 1 Mei 2017.
Peserta berasal dari empat organisasi yaitu Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, AJI Jakarta, Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif (Sindikasi), dan Federasi Serikat Pekerja Media Independen.
Sekitar pukul 09.15 WIB, peserta aksi berjalan kaki dari Halte Tugu Tani, Menteng, Jakarta Pusat menuju Gedung Dewan Pers, lokasi pertama tempat peserta menyampaikan sejumlah tuntutan.
Salah satu perwakilan dari pekerja media, Sasmito, menilai Dewan Pers, sebagai organisasi yang menaungi media, lalai dalam memperhatikan kesejahteraan pekerja media.
Berdasarkan survei AJI, honor kontributor bertingkat mulai Rp10 ribu per berita hingga di atas Rp500 ribu rupiah per berita dengan rincian 42 persen mendapat honor Rp10-10 ribu, sebanyak 22 persen mendapat honor Rp100-200 ribu, sebanyak 25 persen mendapat honor per berita sebesar Rp200-300 ribu, sebanyak 8 persen mendapat honor per berita Rp300-500 ribu dan ada 3 persen yang mendapat honor Rp500 ribu per berita.
“Honor untuk satu artikel ada yang hanya Rp15 ribu. Jika kencing di toilet umum itu Rp 3ribu artinya honor tersebut hanya bisa untuk kencing lima kali dalam satu peliputan,” tutur Sasmito di sela aksi di depan Gedung Dewan Pers Jakarta.
Di beberapa daerah, lanjut Sasmito tingkat honor tersebut secara akumulatif bahkan tak menyentuh besaran upah menurut UMK (upah minumum kabupaten/kota) setempat. Belum lagi minimnya tunjangan operasional yang diberikan.
Padahal, peran media penting dalam kehidupan demokrasi negara. Jika perusahaan lalai dalam memperhatikan kesejahteraan pekerja media, jurnalis yang bersangkutan bisa tergoda untuk menerima “amplop” dari pihak-pihak tertentu. Hal itu bisa mempengaruhi netralitas dan kualitas berita yang disampaikan kepada masyarakat.
Karenanya, forum meminta kebijakan verifikasi media yang dikeluarkan Dewan Pers beberapa waktu lalu juga menangkap dimensi kesejahteraan pekerja tidak hanya berkutat pada asas etika dan profesionalitas.
Selain itu, FPM juga menolak Gerakan Pemagangan Nasional yang digulirkan Pemerintahan Jokowi karena merupakan praktik eksploitasi tenaga kerja dengan dalih pengalaman kerja.
Program ini membuat para peserta hanya menerima hanya uang transportasi dan uang makan saja padahal tugas yang diberikan kepada para pemagang juga sama dengan pekerja lainnya.
Praktik ini tentu saja menguntungkan pengusaha karena dapat menekan ongkos produksi dan merugikan peserta magang yang biasanya berstatus siswa menengah kejuruan dan mahasiswa.
Selanjutnya, FPM juga mendesak pemerintah agar mewajibkan semua lembaga pendidikan tinggi adanya materi pengajaran mengenai hubungan ketenagakerjaan dalam kurikulum pendidikan tinggi agar para mahasiswa juga memiliki pemahaman ketenagakerjaan sebelum mereka terjun ke industri.
Dengan adanya materi pengajaran hubungan ketenagakerjaan akan membuat calon-calon pekerja akan paham hak-haknya saat bekerja nantinya.
Dalam kesempatan yang sama, Sasmito juga mengajak rekan-rekan pekerja media untuk bergabung dengan serikat pekerja. Pasalnya, melalui serikat pekerjalah, karyawan memiliki posisi tawar dalam setiap negosiasi atau ketika menghadapi kasus ketenagakerjaan.
Saat ini, serikat-serikat pekerja tetap sulit tumbuh di perusahaan-perusahaan pers besar nasional maupun daerah. Data terakhir yang dihimpun dari riset AJI dan FSPMI hanya ada 25 serikat pekerja media yang bisa diidentifikasi di seluruh Indonesia. Jumlah ini terbilang sangat minim, hanya sekitar 1 persen dari jumlah media berdasarkan data dewan pers. Padahal Serikat Pekerja sudah diatur dalam Undang Undang Nomor 21 tahun 2000 Tentang Serikat Pekerja.
Selain mendatangi Gedung Dewan Pers, peserta aksi juga menyambangi kantor Badan Ekonomi Kreatif dan Republik Indonesia.[]
Sumber: CNN Indonesia
Discussion about this post