MEDIAACEH.CO, Jakarta – Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan bahwa penggunaan Nilai Tukar Petani (NTP) untuk mengukur kondisi kelayakan usaha petani lebih tepat jika dibandingkan dengan menggunakan Nilai Tukar Usaha Pertanian (NTUP). BPS berseberangan dengan Kementerian Pertanian (Kementan) yang menilai NTUP lah lebih mampu menggambarkan kelayakan usaha petani.
“Menurut saya NTP itu saat ini sudah tepat, karena ikut memperhatikan barang konsumsi. Sementara NTUP hanya memasukan barang modal, kan petani juga melakukan aktivitas konsumsi,” kata Kepala BPS Kecuk Suhariyanto di Kantor Pusat BPS, Jakarta, Kamis, 27 April 2017.
NTP merupakan angka perbandingan antara harga yang diterima petani dengan harga yang dibayarkan oleh petani. NTUP memiliki pengertian yang sama, namun tidak memperhitungkan biaya konsumsi dalam komponen harga yang dibayarkan atau dikeluarkan petani.
“NTUP baru bisa untuk melihat kemampuan produksi petani, karena yang dibandingkan hanya produksi dan biaya produksi,” kata Suhariyanto. NTP, NTUP, dan juga upah nominal, serta upah riil buruh tani, merupakan sejumlah komponen yang biasa digunakan untuk mengukur tingkat kesejahteraan petani di Indonesia.
Sebelumnya dalam rilis survei oleh BPS, NTP terus merosot sejak awal 2017. NTP pada Januari 2017 berada di level 100,91 atau turun 0,56 persen dibandingkan dengan bulan sebelumnya. Februari 2017, NTP kembali turun 0,58 persen menjadi 100,33. Lalu terakhir Maret 2017, NTP berada di angka 99,95 atau seret 0,38 persen.
Meskipun demikian, Suhariyanto mengakui bahwa indeks NTP dan NTUP sendiri masih memiliki beberapa kelemahan. “NTP dan NTUP itu kan sudah lama, diskusi di level akademik pun juga masih mengandung perdebatan. Tapi untuk NTP misalkan, itu baru sebatas mengukur daya beli atau kelayakan usaha, kalau untuk ukuran kesejahteraan belum bisa,” ujarnya.
Menurut dia harusnya indeks harga yang diterima petani bukan dari hasil pertanian saja karena kenyataan saat ini banyak petani yang juga bekerja di luar sektor pertanian. Suhariyanto menilai bahwa sedikit sekali atau bahkan hampir tidak ada petani yang saat ini hanya menggantungkan hidupnya dari hasil pertanian semata.
Kelemahan lain dari penggunaan NTP dan NTUP untuk melihat kesejahteraan petani, menurut Suhariyanto, adalah karena tidak diperhitungkannya faktor aset yang dimiliki oleh petani.
“Untuk survei biasa memang belum, tapi sebenarnya aset ikut dihitung dalam Survei Hasil Pendapatan Petani, bahkan juga menghitung pendapatan petani dari sektor pertanian dan nonpertanian, tapi sayangnya itu hanya dilakukan 5 tahun sekali.”[]
Sumber: Tempo
Discussion about this post