MEDIAACEH.CO, Jakarta – Pakar komunikasi politik dari Universitas Mercu Buana Jakarta Heri Budianto mengatakan, gesekan di level akar rumput karena urusan politik tidak selalu membuat level elite partai turut memanas.
Menurut Heri, di belakang panggung pertemanan para elite politik tetap jalan meskipun mereka memperjuangkan kepentingan yang berbeda. Nah, Heri mengatakan, hal ini yang belum dipahami utuh oleh masyarakat.
“Menjadi tugas bersama untuk menyampaikan sisi lain, apa yang sebenarnya terjadi dalam panggung politik secara umum,” kata Heri saat diskusi Rekonsiliasi Pascapilkada DKI Jakarta Putaran Kedua yang digelar Magister Ilmu Komunikasi Politik Universitas Mercu Buana di gedung DPR, Senayan, Jakarta, Jumat (28/4).
Heri mengatakan, gesekan yang terjadi di pilkada DKI Jakarta putaran kedua lalu memang mengerikan. Ketika aroma pilpres 2014 sudah mereda, kemudian muncul lagi dua kutub yang berbeda di pilkada DKI Jakarta. “Pilkada DKI Jakarta adalah pilpres jilid dua. Nuansanya bukan pilkada lagi, tapi rasanya pilpres,” katanya.
Heri memandang memanasnya pilkada DKI Jakarta itu lebih dahsyat dari pilpres 2014. Denyut nadinya lebih kencang terasa ketimbang pilpres. Berjalannya situasi politik yang panas itu ditambah adanya kasus hukum penodaan agama.
“Ini membuat situasi tambah panas seolah berhadap-hadapan,” katanya.
Menurut dia, pilkada DKI Jakarta memang mengundang gairah. Salah satunya, adalah karena Joko Widodo pada 2012 menjadi gubernur, kemudian menjadi presiden.
Selain itu, instrumen ibu kota negara yang bukan hanya pusat pemerintahan tapi juga bisnis dan informasi, membuat DKI Jakarta semakin panas.
Bayangkan saja, pada 2017 itu ada 101 pilkada di seluruh Indonesia. Namun yang terjadi seolah-olah 100 pilkada itu hilang. Banyak orang yang justru seolah tidak tahu jika daerahnya juga sedang pilkada, dan fokus perhatiannya hanya di Jakarta. “Ini fakta politik yang tidak bisa dihindari,” kata Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi Politik Universitas Mercu Buana Yogyakarta itu.
Belum lagi perkembangan teknologi yang cepat, menambah hangat pilkada. Heri menjelaskan, pada 2004 ketika calon Presiden Amerika Serikat Barrack Obama mem-branding dirinya dengan blackberry, Indonesia belum terlalu familiar.
Ketika pilpres 2009, kontestasi politik di Indonesia juga mencoba, namun tidak fenomenal. Sepuluh tahun setelah Amerika Serikat mulai atau 2014, Indonesia mengalami perkembangan luar biasa dalam penggunaan media sosial dan teknologi informasi untuk urusan politik.
“Saya membayangkan pada 2019 ini akan lebih dahsyat lagi. Terlebih lagi yang harus dipikirkan bersama adalah dampak ketika media mainstream mengarahkan dukungan kepada partai politik tertentu. Sehingga masyarakat kehilangan trust dan beralih ke media sosial,” ujar doktor ilmu komunikasi politik itu.[] Sumber: JPNN.com
Discussion about this post