MEDIAACEH.CO, Banda Aceh – Wanita setengah baya itu duduk tertunduk. Raut wajahnya terlihat sedih. Ia memakai pakaian terusan warna putih dan khusuk mengikuti alunan zikir yang dipandu oleh seorang ustad dari atas pentas.
Disamping kanannya, duduk seorang anggota DPRA dari Fraksi Partai Aceh, Mariati. Sesekali mereka terlihat berpandangan dan bercakap, kemudian kembali larut dalam lantunan zikir. Sementara di samping kiri dan belakang dirinya, duduk ibu-ibu lain yang senasib dengannya.
Mereka adalah para isteri mantan pejuang Gerakan Aceh Merdeka (GAM), sebagian diantaranya sudah janda karena suami meninggal saat konflik. Di tenda depan mereka, diisi oleh rombongan laki-laki yang juga terlihat khusuk dalam alunan zikir.
Wanita setengah baya itu adalah Nuraini, isteri Abu Arafah atau Teungku Abdul Muthalib yang merupakan panglima GAM wilayah Meureuhom Daya.
Hari itu, Kamis 20 April 2017, ia bersama ratusan masyarakat lainnya melakukan zikir akbar mengenang haul suaminya yang telah gugur pada 20 Oktober 1999 silam. Dalam kontak senjata dengan aparat TNI di Gunung Gerute Aceh Jaya.
Ratusan peserta zikir tersebut duduk menghadap kuburan suaminya, sebuah bangunan semi permanen yang berisi tiga kuburan di dalamnya. Kuburan Abu Arafah berada ditengah dengan tanda lilitan bendera Partai Aceh pada nisan. Pertanda lain yang menunjukkan disitu disemanyamkan mantan pejuang adalah adanya gambar selembar bendera bulan bintang di dinding depan bangunan.
Semasa hidup, Abu Arafah adalah orang yang sangat disegani baik dikalangan pejuang GAM maupun TNI. Sehingga setelah Abu Arafah gugur, nama Abu Arafah terus disemat kepada setiap panglima penggantinya. Sampai empat orang panglima setelahnya memakai nama Abu Arafah.
Acara hari itu diselenggarakan oleh rekan-rekan Abu Arafah yang sekarang telah tergabung dalam Komite Peralihan Aceh (KPA) wilayah setempat. Selain mengenang Abu Arafah, mareka juga meniatkan doa bersama itu kepada seluruh korban konflik lainnya dan korban tsunami yang terjadi pada 2004 lalu.
Usai acara, ketika berbincang dengan mediaaceh.co, Nuraini mengucap terimakasih kepada semua pihak yang telah menggelar acara untuk suaminya itu. Dia berharap acara semacam itu dilaksanakan tiap tahun, namun bukan hanya untuk suaminya tetapi kepada seluruh mantan pejuang yang telah gugur dalam perperangan dulu.
Nuraini mengaku haul yang diperingati hari itu tidak bertepatan dengan hari gugur suaminya yaitu 20 Desember 1999 ataupun hari kelahiran suaminya pada 21 September 1971. Kendati demikian, dia tidak mempermasalahkan tanggal tersebut, yang terpenting baginya adalah setiap doa yang dibacakan tersampaikan kepada seluruh korban konflik di Aceh Jaya.
Walau 18 tahun telah berlalu sejak kematian suaminya, tapi Nuraini belum bisa melupakan bagaimana sejarah memilukan itu. Ketika hari suaminya gugur, Nuraini sedang mengandung anak kedua yang ketika itu masih berumur 3 bulan dalam kandungan. Sedangkan anak pertamanya yang perempuan Cut Lantu Natija juga masih kecil.
“Waktu suami saya meninggal saya sedang hamil anak kedua, kanduangan saya masih berumur tiga bulan,” katanya dengan nada datar.
Ketika itu, Nuraini seakan tidak percaya jika suaminya telah tiada. Pikirannya kacau dan hampir stres. Kemudian dia pulang ke kampung orang tuanya di Nagan Raya.
Di Nagan Raya Nuraini memulai kehidupan baru, setelah umur anak keduanya meranjak dua tahun, sekitaran tahun 2002 dia melanjutkan kembali kuliahnya yang sempat tertunda karena menikah.
Nasib baik sepertinya memihak kepada Nuraini, setelah lulus kuliah dia langsung diterima menjadi PNS yang kemudian ditugaskan di Lamno Aceh Jaya. Daerah tempat suaminya gugur dan disemanyamkan. Kini dia hidup bersama kedua anaknya, Cut Lantu Natija yang saat ini sudah dibangku kuliah dan Teuku Yummahardika yang saat ini sudah SMA.
Nuraini mengaku pernah menerima bantuan pendidikan yang diberikan kepada salah satu anaknya. Namun dia mengatakan, tidak semua korban konflik bernasib sama.
Discussion about this post