HARI ini, Minggu 26 Maret 2017, tepat memasuki 144 tahun Belanda mulai memaklumatkan perang kepada Aceh. Ketika itu, Kerajaan Aceh Darussalam masih merdeka dan berdaulat di bawah kekuasaan Sultan Mahmud Syah. Sultan dipaksa mengakui kedaulatan Belanda di Nusantara. Lantaran Sultan Aceh tidak mau tunduk, maka terhitung tanggal itu pula Belanda menyatakan perang terhadap Aceh. Rakyat Aceh mempertahankan kedaulatannya dengan semangat fisabilillah atau perang di jalan Allah.
Perang Aceh termasuk ke dalam sepuluh perang terlama di dunia, perang Aceh ini berada diurutan ke lima dengan durasi perang 31 tahun (1873-1904). Pada klasifikasi ini, akhir perang Aceh diambil bedasarkan tahun tertangkapnya Sultan Daud Syah, Sultan Aceh terakhir yang kemudian dibuang oleh Belanda ke Pulau Jawa.
Walaupun dunia mengakui perang Aceh telah berakhir pada 1904, tetapi pada fakta sejarah pergolakan di Aceh tetap terjadi sampai Belanda angkat kaki dari Aceh tahun 1942, tepatnya ketika Jepang mulai memasuki Aceh. Pergolakan tersebut seperti perusakan terhadap fasilitas Belanda dan pejuang Aceh bertahan dalam perang gerilya.
Sejarawan Aceh, Ibrahim Alfian dalam buku Perang di jalan Allah memaparkan perang Aceh berlangsung selama 39 tahun yaitu dimulai sejak dideklarasi Belanda pada 26 Maret 1873 sampai dengan tahun 1912 setelah tidak ada lagi tokoh kuat dalam perjuangan rakyat Aceh.
Perang Aceh merupakan perang yang terbesar dan terlama yang dialami pemerintah Hindia Belanda di Indonesia. Ketika itu, Belanda sangat berambisi untuk menduduki Aceh, yang merupakan satu-satunya daerah di Sumatera yang belum dikuasainya. Ambisi Belanda karena khawatir kalau daerah ujung Sumatera ini duluan mendapat pengaruh asing dari bangsa Eropa.
Sejarawan Ibrahim Alfian membagi perang Aceh dalam dua bagian yaitu masa bertahan 1873-1875. Masa ini mulai sejak Belanda pertama kali mendarat di Aceh pada 8 April 1873 di bawah pimpinan J. H. Kohler.
Dengan semangat perang di jalan Allah, perlawanan rakyat Aceh mampu memukul mundur pasukan Belanda, di mana pada tanggal 14 April 1873 J. H. Kohler tewas dan Belanda pun dengan membawa kekalahan meninggalkan Aceh pada pada taggal 29 April 1873.
Belajar dari kekalahan pertama, selang beberapa bulan Belanda melakukan serangan kedua di bawah pimpinan J. Van Switen pada 9 Desember 1873. Dengan jumlah pasukan dan kekuatan dua kali lipat dari serang pertama, kali ini pasukan Belanda berhasil memukul mundur pasukan Aceh dari Keraton dan menduduki Mesjid Raya.
Pada masa ini Belanda merayakan kemenangannya. Mereka berpikir dengan telah merebut keraton, maka Aceh berhasil ditaklukkan dan Sultan Aceh mau menyerahkan kedaulatannya. Perkiraan Belanda meleset, ketika Belanda menguasi wilayah keraton Sultan Aceh mundur ke wilayah Aceh Besar sampai beliau meninggal di Pagar Anyer pada 29 Januari 1874 akibat penyakit kolera, Sultan Muhmud Syah kemudian dimakamkan di Cot Banda.
Periode kedua dikatagorikan perang Rakyat 1876-1869. Setelah Sultan Mahmud Syah meninggal terjadi terjadi kosongan kepemimpinan masyarakat Aceh, pada masa ini perlawanan melawan dipimpin oleh Ulebalang-ulebalang. Walaupun ketika itu Sultan Muda Muhammad Daud Syah sudah dinobatkan, namun karena usianya belum dewasa maka kekuasaan walikan oleh Tuanku Hasyim. Peperangan di lanjutkan oleh Uleebalang-uleebalang di daerah dan ulama.
Selama perang berlangsung, ulama maupun uleebalang tidak henti-hentinya memberikan pencerahan akan pentingnya berperang dengan Belanda yang dicap sebagai kafir. Memerangi kafir dianggap fardhu i’n, setiap orang Aceh baik laki-laki, perempuan, maupun anak-anak selagi masih menganut agama Islam diwajibkan berperang dengan Belanda.
Bagi masyarakat yang tidak mau terlibat langsung dalam perang dianjurkan untuk memberikan bantuan dana perang. Dalam membangkitkan semangat perang para cendikiawan yang mahir dalam bidang sastra membacakan hikayat-hikayat Perang Sabil, seperti yang ditulis oleh Tgk. Nyak Ahmad. Dalam Hikayat-hikayat tersebut juga dimasukkan cerita-cerita peperangan masa Nabi Muhammad untuk dijadikan sebagai contoh bahwa perang sabil merupakan perang yang mulia.
Ulama berperan penting dalam penyebaran ideologi perang sabil. Para ulama menanamkan ideologi berlandaskan pada firman Allah. Tempat pengajian atau dayah dijadikan tempat mengatur strategi dan juga perekrutan anggota perang.
Pada masa ini, tidak sedikit ulebalang Aceh yang berkhianat dan memilih mengakui Belanda. Namun pihak ulama seperti Tgk Chik Di Tiro ketika itu tetap mengajak para uleebalang yang telah mengakui kedaulatan Belanda untuk kembali berpihak kepada Aceh.
Ketika itu, pusat komando perang lebih banyak dipegang oleh para ulama, pasukan Aceh mulai menyerang pos-pos Belanda guna mengambil senjata. Hal ini dilakukan untuk memperkuat pertahanan Aceh dengan senjata moderen seperti yang dimiliki Belanda, seperti yang dilakukan pasukan Aceh pada 24 April 1877 dan Maret 1878.
Kurun waktu 1896 pasukan Aceh mulai dilanda kekalahan, dimana pada Mei 1896 terjadi terjadi serang di mukim VI, Belanda berhasil merebut benteng yang dikuasai oleh Teuku Umar. Serangan tiba-tiba yang dilakukan Belanda pada 28 Juni 1896 di Benteng Aneuk Galong juga membawa kekalahan bagi Aceh dan banyak pejuang Aceh yang gugur. Pertempuran ini sangat merugikan pihak Aceh, sistem pertahanan konsentrasi yang dianut Belanda sejak 1884 diganti dengan sistem agresi.
Pada tahun yang sama pula, pada 21 Juni 1896 Belanda berhasil menyergap T. Nyak Makam, Belanda memutuskan untuk mengeksekusi dengan memenggal kepala T. Nyak Makam dan menggaraknya sebagai bukti kemenangannya.
Pihak Aceh terus mendapat pukulan dari Belanda setelah Keumala Dalam dapat dikuasai Belanda pada 22 Agustus 1898. Teuku Umar yang dapat bertahan di pedalaman Tangse mengundurkan diri ke Aceh Barat dan akhirnya tewas pada 10 Februari 1899.
Ketika itu Belanda juga mulai melaksanakan anjuran Snouck Hurgronje, seorang sarjana Belanda yang ditugaskan untuk mempelajari karater orang Aceh. Atas anjuran Snouck, Belanda memakai politik sandra untuk mengalahkan pihak Aceh, dan terbukti berhasil dengan menyerahnya Sultan Aceh yang terakhir Muhammad Daud Syah dan T. Panglima Polem pada 1904.
Hal yang membuat Aceh semakin terpuruk adalah ketika 82 Ulebalang di Aceh mengakui kedudukan Belanda dengan menandatangani surat persetujuan Korte Verklaring.
Walaupun ketika itu, Belanda menganggap telah berhasil menduduki Aceh, tetapi perlawanan gerilya Aceh terus dilakukan sampai Jepang memasuki Aceh. Komando perang waktu telah berpusat kepada para ulama.
Discussion about this post