MEDIAACEH.CO, Jakarta – Menteri Keuangan Sri Mulyani beberapa waktu lalu menghadiri investor forum di Amerika Serikat (AS). Terdapat berbagai hal yang dibahas dalam pertemuan ini. Salah satunya adalah tentang defisit anggaran hingga neraca pembayaran.
“Secara umum pertemuan saya dengan terutama dengan bond holder. Terutama yang pegang bond. They like and love the narrative about Indonesia. Mereka menyangkut dari sisi makroekonomi dibandingkan emerging,” tuturnya di Kantor Pusat Ditjen Pajak, Jakarta, Senin (13/3/2017).
Menurutnya, para investor ini menganggap Indonesia memiliki perekonomian yang relatif lebih baik dari negara lain. Para investor ini pun juga akan mempertanyakan tentang kondisi Indonesia karena The Fed akan menaikkan suku bunga acuannya.
Kesiapan Indonesia dalam mencapai penerimaan pajak pun juga turut dipertanyakan. Tak hanya itu, para investor pun juga turut mendukung pembangunan infrastruktur di Indonesia.
“Masalah Freeport pun juga turut dibahas dalam pertemuan ini. Sri Mulyani pun menjelaskan lebih detail tentang persoalan yang tengah dihadapi saat ini, yang mereka tanyakan tentu misalnya soal sektor pertambangan, termasuk negoisasi Freeport, menjadi salah satu pertanyaan. Apa yang ingin dicapai oleh Indonesia dalam proses negoisasi ini dan bagaimana Indonesia akan menciptakan lingkungan yang menggambarkan kepastian usaha dan investasi pada saat kita bertujuan meningkatkan pertumbuhan,” tuturnya.
Sri Mulyani pun menuturkan bahwa negosiasi masih berada dalam aturan undang-undang yang berlaku. Dengan begitu, investor tak perlu khawatir untuk berinvestasi di Indonesia.
“Jadi kita menjelaskan saja bahwa proses negoisasi diatur dalam UU, ada masa transisi yang harus dilalui dan komunikasi antar pemerintah dan Freeport dilakukan secara formal,” ujarnya.
Seperti diketahui, PT Freeport Indonesia telah berulang kali menegaskan penolakannya terhadap perubahan status kontrak karya (KK) menjadi izin usaha pertambangan khusus (IUPK). Demi menolak aturan ini, Freeport bahkan rela untuk menghentikan kegiatan produksi sejak 10 Februari 2017.
Penghentian produksi ini bukannya tanpa alasan. Penyebabnya adalah komitmen pemerintah yang tidak mengizinkan perusahaan tambang untuk melakukan ekspor konsentrat sebelum mengubah status KK menjadi IUPK. Alhasil, ribuan pekerja Freeport harus dirumahkan.
Tak hanya itu, Freeport juga menolak aturan perpajakan dalam IUPK yang berbeda dari KK. Pada IUPK, pemerintah mengatur bahwa pajak tidak memiliki ketetapan, melainkan harus mengikuti ketentuan yang ada dan tentunya berpotensi akan berubah. Skema perpajakan ini kemudian disebut prevailing.
Aturan ini pun ditolak oleh Freeport. Perusahaan tambang milik Freeport-McMoRan ini lebih memilih aturan perpajakan sebelumnya pada kontrak karya, yaitu adanya kepastian pajak tetap hingga kontrak berakhir atau naildown.
Persoalan pun tak selesai sampai di sini. Freeport Indonesia juga menolak kewajiban divestasi sebesar 51%. Freeport bersikeras untuk melakukan divestasi hanya sebesar 30%.
Namun, pemerintah tetap setia pada aturan yang telah diterbitkan, yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2017 (PP 1/2017) yang mengharuskan perusahaan tambang pemegang kontrak karya untuk mengubah status kontraknya menjadi izin usaha pertambangan khusus. Tak peduli dengan ancaman Freeport terhadap pemutusan hubungan kerja (PHK), aturan ini tetap diterapkan oleh pemerintah.
Alhasil, Freeport tak tinggal diam. Setelah Chappy Hakim mengundurkan diri, President dan CEO Freeport McMoRan Inc Richard C Adkerson pun segera terbang ke Indonesia untuk menjelaskan detail masalah yang tengah dihadapi Freeport. Kesimpulannya, di hadapan awak media Richard menegaskan tetap menolak perubahan status kontrak karena hanya ditetapkan secara sepihak oleh pemerintah.
Tak tanggung-tanggung, Freeport akhirnya berencana membawa kasus ini melalui arbitrase internasional. Kasus ini akan dibawa ke tingkat arbitrase setelah dalam kurun waktu 120 hari sejak 18 Februari 2017 tak kunjung ada kesepakatan antara pemerintah dan Freeport.
Discussion about this post