MEDIAACEH.CO, Subulussalam – “Semoga gubernur yang terpilih dapat membuat Aceh aman,” demikian perkataan Pamang (38 tahun), seorang pekerja pemecah batu, warga Lae Motong, Kecamatan Penanggalan, Kota Subulussalam saat ditemui di sebuah lokasi galian batu di Kampong Cepu, Kecamatan Penanggalan, Selasa 14 Februari 2017.
Ayah dari empat anak ini tidak berharap banyak dari pasangan calon (Paslon) yang kelak diberi amanat oleh rakyat untuk memimpin Aceh lima tahun kedepan.
Bagi dia, Aceh aman sudah memuaskan dirinya selaku buruh pemecah batu.
“Saya gak muluk-muluk, cukup Aceh aman sudah oke bagi saya,” kata Pamang.
Pamang yang sudah enam tahun menekuni pekerjaannya sebagai buruh pemecah batu itu selalu aktif memberikan hak pilihnya dalam setiap penyelenggaraan pemilihan,ia tidak pernah golput.
Kendati dia hanya seorang pekerja kasar, namun baginya memberikan hak suara itu adalah merupakan kewajiban sebagai warga negara Indonesia.
Di sela-sela rehatnya, saat terik matahari menyengat ubun-ubun, Pamang dengan tubuh kekarnya menjawab pertanyaan wartawan dengan hangat, sehingga percakapannya pun mencair, sesekali dibumbui dengan senyumannya yang khas menggambarkan sosok pekerja tangguh demi menghidupi anak dan istrinya.
Percakapan kami pun semakin akrab, sembari sepoi-sepoi angin menyapa tubuh Pamang yang berkucur keringat itu dan sekali-kali dia tanpak menghelakan nafas panjang, sepertinya hendak melepaskan rasa letihnya.
Mungkin sudah waktunya makan, dia mengambil nasi bontot (bekal) dari sisi kanannya yang dibawa dari rumah. Pamang mencoba membagi makanannya kepada saya, namun saya menolaknya dengan alasan sebelum ke lokasi pemecah batu saya sudah makan. Ia tetap meminta saya untuk mencicipi makanan dulu sebelum pulang.
“Aci mo lih.. rebakkn mangan kita, oda merasa ku akap mla sada ku kessa mangan da,” katanya sedikit memaksakan diri saya.
“Ayuklah bang.. sama-sama kita makan, saya tidak merasa enak ni kalau cuma makan sendiri.”
Saya memilih mengamati tempatnya bekerja itu karena tidak ingin mengusik dia yang sedang lahap menikmati makan siangnya. Saya pun tak mengajak dia bercerita sebelum makanan itu habis dia santap.
Sesekali saya mengarahkan pandangan saya ke Pamang, betapa tidak setelah mengamati lokasi itu ternyata pekerjaan yang dia geluti itu sangat mengancam keselamatan nyawa.
Selepas makan siangnya, Pamang pun menyalakan sebatang rokok dan saya kembali berbincang dengannya hingga banyak memperoleh pelajaran hidup dari penuturan yang dia uraikan.
Pamang, salah satu buruh pemecah batu yang menjadikan profesi bertaruh nyawa ini sebagai alternatif pekerjaan dalam memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga. Pekerjaan tersebut tergolong berat, karena mereka kerap mengahadapi ancaman longsoran batu yang sewaktu-waktu bisa saja terjadi.
Mereka menggunakan peralatan sebuah lenggis, pahat, dan palu seberat 10 kilo gram untuk memecah batu-batu besar hingga batu tersebut pecah dalam bentuk ukuran yang disesuaikan dengan orderan pemesan batu.
Batu yang mereka kumpulkan itu adalah jenis batu gunung atau batu padas yang mereka congkel dari tebing-tebing bukit. Batu berukuran besar terlebih dulu di congkel hingga batu besar tersebut terpisah dari batu-batu lainnya hingga runtuh. Setelah batu tersebut runtuh, maka para pemecah batu itu pun memecahkannya kembali dengan ukuran yang lebih kecil sesuai orderan pemesan batu untuk keperluan bahan material bangunan.
Sepanjang hari, mereka mengais pundi-pundi rupiah dari bongkahan-bongkahan batu gunung itu. Penghasilan yang tidak sebanding dengan resiko tak membuat mereka surut dan beralih dengan pekerjaan-pekerjaan lainnya yang jauh lebih tidak berisiko lagi.
“Walaupun pekerjaan ini berat, tapi kami tetap nyaman dengan pekerjaan kami ini. Mau cari kerjaan di mana lagi. Yang penting halal untuk keluarga,” kata Pamang.
Mereka bekerja bukan di lokasi pribadi, melainkan adalah di lokasi orang lain. Penghasilan mereka dihitung berdasarkan sistim hitungan perkubik oleh pemilik lokasi.
Bayarannya satu kubik yang mereka terima sebesar Rp30 ribu rupiah dan ditambah lagi dengan 10 ribu rupiah per kubik untuk ongkos menaikkan batu ke mobil truk. Jika pada saat musim kemarau mereka dapat mengumpulkan batu cadas rata-rata empat kubik per hari. Namun jika musim penghujan, mereka hanya dapat mengumpulkan satu kubik per hari.
“Kalau di musim penghujan kami cuma dapat satu kubik, bahkan sering kami gak ada hasil, kan kalau hujan tanah licin dan rawan longsor,” kata Pamang, pekerja pemecah batu di lokasi milik Rinto Berutu.
Walau resiko resiko yang dihadapi rawan kecelakaan, namun mereka bersyukur karena masih tersedia lapangan kerja untuk memenuhi kebutuhan keluarga sehari hari.
Ketika ditanyakan Pamang tentang harapannya bagi masing-masing paslon gubernur dan wakil gubernur Aceh, Pamang mengatakan, agar siapa pun kelak yang menjadi gubernur dan wakil gubernur Aceh di antara ke enam paslon tersebut supaya mampu menjaga perdamaian Aceh dengan utuh agar mereka dapat bekerja dengan tenang.
Selain itu dia juga berharap agar pemimpin Aceh yang terpilih nantinya dapat memperhatikan nasib para pekerja batu seperti mereka.
“Saya cuma berharap, pemimpin Aceh ke depan dapat memperhatikan nasib para pekerja seperti kami ini. Dan pemimpin Aceh nanti pun mampu menjaga perdamaian Aceh dengan utuh, agar kami dapat bekerja dengan tenang,” tutur Pamang.
Sebait tulisan yang terlukis di dalam naskah ini membuat catatan bahwa mereka saja seorang buruh kasar yang bertaruh nyawa setiap hari tetap juga mempunyai iktikad baik untuk memberikan hak suaranya pada pemilihan 15 Februari besok untuk mendaulatkan pemimpin Aceh lima tahun kedepan. Golput pantang bagi mereka.[]
Discussion about this post