RIDWAN dan Ilyas ternyata memiliki argument yang hampir sama. Asumsi dari Ridwan dan Teungku Ilyas ini ternyata mendapat dukungan kuat dari mayoritas warga Aceh yang hadir.
Namun Ayah Saridin mencoba memberi pandangan lain. Dia benar-benar berperan sebagai orang tua bagi pendatang asal Aceh di Malaysia.
“Jangan berpikir negative terlebih dahulu. Mungkin dengan berdamai, kita bisa membangun Aceh. Bukankah cita-cita kita semua ingin membuat Aceh lebih maju,” kata Ayah Saridin.
“Damai ini bukanlah akhir dari perjuangan. Perjuangan ini tak akan berhenti dengan damai. Wali Hasan Tiro mengajari kami tentang beberapa macam bentuk perang. Ada perang senjata, perang ekonomi dan perang politik. Ini disampaikan saat kami di Libya dulu,” ujar Ayah Saridin.
Ayah Saridin dan Ayah Halim memang Eks Tripoli yang menuntut ilmu langsung dari Wali Hasan Tiro. Banyak nasehat dari Wali Hasan Tiro yang aku dengar langsung dari kedua sosok itu. Belajar dari kedua orang ini seperti bertatapan langsung dengan Wali Hasan Tiro.
Dalam struktur GAM, Eks Tripoli mendapat tempat yang istimewa. Mereka-lah yang melatih pasukan sesampai di Aceh. Namun tentu tak semua Eks Tripoli mendapat perlakuan istimewa. Ini karena ada juga satu dua Eks Tripoli yang tak kembali ke Aceh usai dilatih di Libya. Mereka memilih bertahan di Jawa atau Malaysia.
Ada juga Eks Tripoli yang ketakutan saat berhadapan dengan TNI. Sementara pasukan dalam nanggroe, yang dilatih di pedalaman Aceh, berani berperang dengan gagah. Semua ini terjadi karena factor mental dan tekad.
“Mungkin kita ke depan akan memasuki tahapan baru. Yaitu perang politik,” ujarnya Ayah Saridin.
Warga yang hadir kemudian terdiam. Aku mencoba mengamati mimik wajah Ayah Saridin. Sebenarnya masih berat bagi sosok itu menerima rencana damai yang sedang digagas. Ini terungkap dalam beberapa kali diskusi kami di flat. Namun karena damai adalah keputusan orang tua di Swedia, maka mau tak mau harus diterimanya.
Keputusan itu juga dicoba sampaikan kepada warga Aceh di Malaysia. Biarpun sangat sulit untuk menyakinkan mereka. Ini karena mayoritas warga Aceh di Malaysia adalah korban konflik. Bahkan keluarga mereka terbunuh selama konflik seperti diriku.
“Kita harus bawa pulang kembali marwah bangsa. Yang dibutuhkan saat damai nanti adalah keyakinan. Keyakinan bahwa apa yang kita sepakati hari ini tetap sama seperti dulu,” ujar Ayah Saridin.
“Masing-masing dari kita telah bersumpah saat bergabung dengan GAM. Sumpah inilah yang harus kita jaga,” katanya lagi.
“Apa jaminannya kalau perjanjian damai sekarang tak seperti sebelumnya,” kata Ridwan tiba-tiba.
“Ya. Jaminan apa yang bisa diberikan oleh RI kalau mereka tak akan kembali mengkhianati kita,” ujar Teungku Ilyas.
Ayah Saridin terdiam. Demikian juga diriku dan Ayah Halim.
“Tak ada jaminan apapun. Saat berperang kita bersungguh-sungguh. Demikian juga dengan damai. Kita juga harus bersungguh-sungguh. Siapa tahu dengan damai, kita bisa membangun Aceh. Namun seperti kata Saridin tadi, bahwa perjuangan kita bukan berhenti hanya dengan perdamaian ini,” ujar Ayah Halim.
“Percayalah. Apapun yang diputuskan oleh orang tua kita di Swedia adalah yang terbaik bagi Aceh hari ini,” katanya lagi.
Forum yang hadir kemudian terdiam. Namun beberapa di antaranya masih ada yang mengeleng-geleng kepala. Itu pertanda bahwa mereka belum dapat menerima rencana damai.
Forum kemudian bubar. Aku, Ayah Halim dan Ayah Saridin kemudian pulang ke flat. Namun sepanjang perjalanan, aku melihat Ayah Saridin tertunduk lesu. Demikian juga dengan Ayah Halim. Ada sesuatu yang dipikirkan oleh mereka.
Ayah Halim kemudian mengambil handphone dan menghubungi seseorang.
“Mualem. Saya ingin menanyakan sesuatu. Apakah perjanjian merupakan harga mati yang harus kita terima?” ujarnya.
Aku terdiam mendengar telepon Ayah Halim serta mencoba menguping apa penjelasan dari lawan bicara di seberang. Sayangnya, suara handphone milik Ayah Halim sangat kecil dan hampir tak terdengar.
“Ya. Mualem,” jawab Ayah Halim.
“Ya. Lon ikut kiban perintah droneuh,” kata Ayah Halim lagi.
Tiba-tiba, air mata Ayah Halim turun membasahi wajah. Air mata itu turun kian deras tanpa suara. Entah apa jawaban Mualem yang membuat Ayah Halim berinang air mata.
“Kamoe ikot kiban perintah droneuh Mualem. Walaikumsalam,” ujarnya lagi sambil menutup telepon. Ayah Halim menyekat air mata. Sementara aku dan Ayah Saridin terdiam. [Bersambung]
Cerita bersambung ini karya Musa AM
Discussion about this post