ESOK harinya, aku dan Muti menuju Thailand. Tujuannya, agar pasporku bisa diperpanjang di sana.
Untuk berangkat ke sana, aku dibantu beberapa warga Aceh yang sudah lama menetap di Malaysia. Salah satu diantaranya adalah Sayed. Sementara dari Ayah Saridin, aku tak berani meminta bantuan. Ini karena sosok itu sudah memberiku tumpangan tempat tinggal. Ada perasaaan tak enak jika aku kembali menambah bebannya.
Sementara jika berharap dari gaji mengajar juga tak mungkin. Ini karena aku dan Muti belum sebulan mengajar di Komuniti Aceh.
Di Thailand, ternyata pasporku dan Muti hanya bisa diperpanjang selama 7 hari.
Aku kemudian kembali ke Malaysia. Kekhawatiranku akan masa habis paspor kemudian kuceritakan pada dua pekerja LSM Malaysia Care. Lembaga yang selama ini membantu SURA dan Komuniti Aceh.
Mereka adalah Qiah Huin dan Sarjiv. Qiah Huin adalah warga keturunan Cina. Sedangkan Sarjiv merupakan warga keturunan Hindia. Ini terlihat dari postur tubuh dan wajah mereka. Namun keduanya adalah penduduk Malaysia.
Mereka-lah akhirnya yang membawaku dan Muti untuk memperoleh kartu pengungsi internasional dari UNHCR.
“Kami akan membantu Cek Musa semaksimal mungkin. Cek Musa tak perlu khawatir,” ujar Sarjiv.
Saat itu, untuk memperoleh kartu UNHCR sudah dibatasi. Namun berkat bantuan dari mereka, kartu tersebut berhasil aku peroleh.
“Cek harus menunggu hingga ada negara ketiga yang mau menampung. Sementara itu tugas dari Cekgu tetap berjalan seperti biasa,” kata Qiah Huin kepada aku dan Muti.
Bagi pengungsi asal Aceh, keberadaan kartu UNHCR bukan hanya bertujuan agar bisa bertahan di Malaysia. Ini karena Malaysia hanya mengizinkan tinggal sementara.
Keberadaan kartu ini bertujuan agar para pengungsi asal Aceh bisa segera berangkat ke negara ketiga yang mau menampung. Keberangkatan para pengungsi ke negara ketiga untuk melanjutkan misi perjuangan Aceh secara diplomasi.
Dengan adanya kartu tersebut, aku untuk sementara mulai bebas berpergian di Malaysia.
Aktivitasku sebagai pasukan GAM juga lebih mudah. Aku bisa lebih mudah bergabung dengan Ayah Saridin dan Ayah Halim yang menjadi orang tua bagi pasukan GAM yang kini berada di Malaysia.
Ayah Halim dan Ayah Saridin menjadi tokoh yang membantu Komuniti Aceh. Mereka bekerja untuk membantu para tentara GAM yang menyeberang ke Malaysia.
Biarpun ada beberapa orang yang masih memandang sinis ke Ayah Saridin. Terutama terkait kasus uang dari Tarmizi.
“Jangan dipikirkan, Ayah. Isya Allah kebenaran akan segera terungkap,” ujarku dalam setiap kesempatan. Ayah Saridin hanya mengangguk pasrah.
Dalam setiap pertemuan yang kami ikuti, ternyata informasi akan adanya penandatanganan perjanjian di Helsinki berkembang pesat. Namun ada pro dan kontra yang terjadi.
Peunutoh tentang rencana damai disampaikan langsung dari pimpinan di Swedia ke Mualem di dalam nanggroe. Dari Mualem-lah informasi ini kemudian diteruskan ke pimpinan wilayah hingga ke Malaysia.
Dari Swedia-lah diputuskan, apakah terima atau tidaknya perdamaian Aceh. Baik buruk keputusan tersebut harus diterima oleh semua lapisan GAM di lapangan.
Peunutoh ini diterima dalam waktu yang singkat. Struktur yang solid inilah yang membuat tentara republic kesulitan menghadapi GAM.
Bagi Ayah Saridin, apapun yang dikatakan oleh Mualem merupakan perintah. Termasuk soal damai.
Namun sebahagian warga Aceh di Malaysia menolak perdamaian yang sedang dirintis. Kelompok ini terbesar di Malaysia. Mereka menganggap bahwa perdamaian adalah langkah akal-akalan dari Indonesia untuk melumpuhkan GAM di Aceh.
Mereka menganggap upaya damai akan berakhir dengan catatan pahit. Ini merujuk pada perjanjian-perjanjian yang dirintis sebelumnya.
“Kita harus meminta orang tua kita di Swedia untuk menolak berdamai. Merdeka adalah harga mati,” ujar Teungku Ilyas saat warga asal Aceh berkumpul di Selayang.
“Kita selalu ditipu. Kalau perjanjian dijalin, maka kita akan kembali terpelosot dalam lubang yang sama. Tidakkah kita belajar dari sejarah Aceh,” kata Ridwan.
“Ya. Damai hanya kepura-puraan dari RI. Tak ada kedamaian yang tulus,” kata Teungku Ilyas lagi. [Bersambung]
Cerita bersambung ini karya Musa AM
Discussion about this post