MEREKA yang menuhankan akal, rasionalitas, ilmu pengetahuan dan sibuk dengan urusan duniawi semata memang akan sinis dengan hadirnya film "Surga Menanti" yang dibintangi Bunda (sapaan akrab Wali Kota Banda Aceh, Illiza Sa'aduddin Djamal). Karena pikiran dan imajinasi mereka memang tidak akan pernah sampai pada hal-hal yang bersifat ukhrawi.
Mereka tidak akan pernah mau berdamai dengan doktrin Bunda terhadap syariat Islam versinya. Tidak akan pernah paham bagaimana dampak akhir dari keterlibatan Bunda dalam setiap syiar islam versinya, seperti dengan memimpin langsung penggerebekan warung remang-remang, merazia lapak domino atau membintangi film yang sangat menyentuh ini.
Mereka menuding, percuma Bunda main film sementara ruang tontonan di Banda Aceh seperti Bioskop tidak ada! Bunda dituding suka heboh salah tempat. Sebagian lagi menuding Bunda sering eksis di momentum yang salah. Dan yang paling menyedihkan, mereka menuding Bunda sering memainkan isu syariat untuk menjaga popularitas karena Bunda dianggap miskin gagasan.
"Hebohnya" Bunda dalam film ini dianggap tidak kontesktuil dengan persoalan yang mendera Banda Aceh sekarang ini. Sebagai Walikota, pilihan Bunda menjadi bintang film (atau menjadi bintang iklan sarung atau iklan sosis) tidak menyelesaikan realitas persoalan air pam yang macet, listrik yang mati, tata kota yang kacau, sampah yang berserakan, birokrasi yang korup, ruang terbuka yang kurang, kemiskinan yang tumbuh, lapangan kerja yang minim, kesenjangan sosial yang tinggi dan intoleransi yang semakin marak.
Tapi bolehkah kita sekali saja sabar dan objektif? Kalau boleh, mari kita renungkan dengan hati yang bersih, mari kita hayati setiap lirik dan syair dari setiap tarikan nafas suara Bunda dalam soundtrack film "Menanti Surga". Jujur, suara Bunda yang serak-serak cadel itu membuat saya sami’na wa ta’ajjabna. Terhadap engkau, Bunda. Aku langsung takluk dan tunduk! Pada senyuman dan lesung pipimu itu, aku menemukan sepotong surga yang hilang!
Bunda, aku ingin mengakui satu hal. Aku tak ingin menjadi lelaki munafik, aku memang suka pasrah dan gampang terperdaya dihadapan kecantikan perempuan. Seperti suka pasrah dan gampang terperdaya oleh suara, senyuman dari kecantikanmu, misalnya.
Dengan melihat mimik wajahmu yang bercahaya dan teduh, menyaksikan suaramu yang khas, mendengar ejaan ayat dalam khotbahmu yang fasih, kadang aku harus ikhlas menimba air dari sumur karena air pam macet. Ini terkesan lebay mungkin, tapi bukankah sebuah kata-kata dari paras yang tepat kadang mampu mengalihkan banyak persoalan? Seperti sebuah senyuman dari orang yang tepat lebih berarti dari puluhan traktat filsafat, atau seperti sebuah pelukan dari kekasih baru yang mampu meredam sejuta luka dan kenangan dari mantan.
Aku sekarang paham kenapa Bunda sampai belain-belain mau main film dan menghadiri gala priemere di Jakarta? Bagian dari pencitraan dan kampanye jelang Pilkada? Bukan. Atau ternyata Bunda didalam lubuk hati yang paling dalam rupanya memendam jiwa aktris dan sosialita? Juga bukan.
Dalam khayalanku, apapun pilihan dan kebijakan Bunda, sebagaimana juga dalam keyakinan timsesnya, Bunda hanya selalu berusaha berkhidmat, memberikan yang terbaik untuk rakyatnya, meskipun rakyat sering sekali tidak paham terhadap kebijakan Bunda yang mereka anggap sering "tidak nyambung". Tidak kontekstual.
Sebagai Walikota, Bunda hanya berusaha mengambil tanggung jawab lebih, Bunda boleh gagal memastikan warga Banda Aceh aman, nyaman, sejahtera dan bahagia di dunia yang sifatnya hanya sementara ini. Tapi Bunda tidak boleh gagal dalam menyiapkan taman bermain yang indah untuk warga Banda Aceh di akhirat yang kekal nanti.
Insyallah, melalui film yang Bunda bintangi ini dan dibawah kepemimpinan Bunda sebagai Walikota, warga Banda Aceh akan menjadi penghuni eksklusif di surga kelak. Kita akan bercinta semalam suntuk dengan 44 bidadari. Takbir!
Penulis Rendy Prasetya, Berminat pada isu Ekonomi Politik, Tata Ruang dan Tata Kota.
Discussion about this post