Pro Kontra Perdamaian
Agustus 2005
AKTIVITASKU selama di Malaysia mulai padat. Pagi hari mengajar di sekolah milik Komuniti Aceh. Siang harinya menjalin komunikasi dengan pasukan di Pase serta penghubung GAM di luar negeri serta malamnya membantu Ayah Saridin di Pasar Borong.
Aku juga masih rutin mentrasfer keuangan untuk sejumlah pasukan di Pase atas arahan Bang Yan. Hal ini merupakan tugas pokokku selaku prajurit GAM.
Sementara mengajar dan membantu Ayah Saridin di Pasar Borong merupakan pekerjaan untuk bisa bertahan hidup.
Aku juga mulai mengenal dengan Ulee Majelis GAM di Malaysia. Sama halnya seperti di Aceh, di Malaysia juga terdapat 17 Ulee Majelis GAM wilayah. Namun bedanya, aktivitas mereka dilakukan secara terang-terangan tanpa khawatir ditangkap.
Ulee wilayah Pase bernama Bang Him. Ia biasa dipanggil Bang Him Ulee Pase. Bang Him berjualan di depan masjid Kota Baru, sebelah Chowkit. Bang Him berjualan jajanan sore hingga malam.
Sedangkan Sidom Apui merupakan tentara GAM yang paling sering mengunjungi flat Ayah Saridin.
Dia selalu datang dengan membawa makanan ala kadar. Aku, Ayah Saridin dan Sidom Apui selalu menjadi kawan diskusi yang baik.
“Ayah, apa yang harus kita lakukan jika seandainya damai benar-benar terjadi?” ujar Sidom Apui di taman dekat flat. Ayah terdiam.
Sementara aku termenung. Pikiranku sedang sibuk memikirkan nasibku dan Muti. Pasalnya, visa kunjung pasporku dan Muti hanya berlaku 30 hari di Malaysia. Batasnya hanya beberapa hari ke depan.
Aku khawatir jika seandainya pasporku dan Muti habis dan kemudian bertemu dadakan dengan polisi Malaysia serta akhirnya dideportasi ke Indonesia.
“Apakah kita sanggup melupakan dengan semua hal yang terjadi selama di Aceh? Maksudku kesengsaraan selama darurat militer,” kata Sidom Apui lagi.
Ayah Saridin tak langsung menjawab. Sorot matanya melirik ke arahku. Namun aku tak meresponnya. Ayah Saridin akhirnya menarik nafas panjang.
“Mau tak mau kita harus melupakannya. Bagaimana menurutmu Musa? Dapatkah kau melupakan apa yang terjadi? Melupakan peristiwa adikmu yang diculik hingga jasadnya ditemukan setelah ditembak aparat TNI, Melupakan peristiwa penculikan ayahmu yang tak jelas kuburannya hingga kini,” kata Ayah Saridin.
Mendengar hal ini, aku tertunduk. Aku tak bisa menjawab. Ada rasa sakit yang sangat dalam jika mengingat dua hal tadi. Namun aku adalah prajurit yang harus siap menerima apapun keputusan pimpinan.
“Entahlah, Ayah. Aku belum bisa menjawabnya. Namun seperti aku tegaskan padamu. Kita ini prajurit. Mau tak mau harus menerima keputusan orang tua di Swedia. Siapa tahu dengan damai nanti, Aceh bisa membuka lembaran baru. Walau harus kita akui, yang lalu sangat sulit dilupakan,” kataku.
“Demi Aceh, aku rasa, mau tak mau kita harus menerimanya. Ini pil pahit. Namun mau tak mau, kita harus menelannya. Semoga butir-butir perjanjian yang bakal diteken nanti setimpal dengan pengorbanan serta kesengsaraan kita dan mayoritas masyarakat Aceh,” ujarku lagi.
Ayah Saridin tertunduk. Demikian juga dengan Sidom Apui. Kami terdiam beberapa saat.
“Apa yang kalian pikirkan? Kenapa tiga-tiganya tertunduk lesu?” suara itu tiba-tiba terdengar.
Dari arah belakang, aku melihat Ayah Halim tersenyum ke arah kami. Ya, Ayah Halim adalah Wakil Panglima Wilayah Pase. Wakil Bang Yan. Sosok itu juga hijrah ke Malaysia.
“Apa yang sedang kalian bahas? Sepertinya pembicaraan tingkat tinggi,” ujar Ayah Halim lagi.
Aku mencoba tersenyum. Demikian juga dengan Ayah Saridin dan Sidom Apui.
“Tidak Ayah Halim. Mari bergabung. Kami sedang membahas rencana damai yang digagas orang tua kita di Swedia dengan delegasi Indonesia. Kabarnya bakal segera terwujud di Filandia,” kataku.
Ayah Halim mengangguk. Dia kemudian duduk di sisi kiriku. Ayah Halim mencoba tersenyum ke arah kami bertiga.
“Apakah kalian meragukan upaya yang sedang ditempuh oleh orang tua kita di Swedia? Sejak kapan keraguan itu hadir pada diri kalian?” ujarnya pelan.
“Bukan itu, Ayah Halim. Kami bertiga tak pernah sedikitpun ragu dengan keputusan orang tua kita di Swedia. Kami tidak pernah ragu dengan apa yang mereka yakini benar adanya,” ujarku.
“Lantas apa yang kalian khawatirkan?” kata Ayah Halim.
“Saya hanya bertanya pada Pakwa dan Ayah Saridin. Dapatkah kita melupakan luka yang pernah terjadi saat darurat militer. Dan ternyata sulit memang,” kata Sidom Apui.
Ayah Halim terdiam. Pertanyaan ini ternyata juga sulit dijawab olehnya. [Bersambung]
Cerita bersambung ini karya Musa AM
Discussion about this post