AMAT ironis sekarang ini, citra Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) di republik ini terus merosot tajam di mata rakyat. Ini adalah faktor ulah oknum tertentu anggota dewan, namun berimplikasi negatif kepada lembaga dewan yang terhormat itu. Memang tidak dapat dipisahkan antara oknum anggota dewan dengan lembaga yang menaungi anggota dewan itu sendiri. Banyak hal yang melatarbelakangi merosotnya citra DPR kita. Penulis tidak akan merinci secara detail apa saja hal-hal tersebut, karena penulis yakin publik sudah tahu semuanya. Apalagi sekarang dengan kecanggihan teknologi informasi, apapun “kemelut” yang terjadi di gedung dewan dengan secepat kilat sampai informasinya ke telinga publik.
Dalam tulisan ini penulis hanya berfokus pada diskusi terkait uang jalan DPR. Baru-baru ini lembaga DPR kita seperti tersengat dengan lansiran berita dan menjadi headline di media massa nasional terkait dugaan kunjungan kerja (kunker) fiktif anggota dewan.
Diberitakan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) telah melakukan audit terkait kunker DPR dari 1 Januari hingga 31 Desember 2015. Dari hasil audit tahunan tersebut, BPK menemukan sejumlah anggota DPR melakukan kunjungan kerja (kunker) fiktif yang berpotensi merugikan keuangan negara sebesar Rp945 miliar. BPK berdalih laporan kungker perorangan anggota dewan tidak dapat diyakini kebenarannya (http://nasional.sindonews.com, tanggal 13 Mei 2016). Sederhanya kepada setiap anggota DPR yang melakukan kunker diberikan sejumlah uang jalan. Namun disinyalir penggunaannya tidak sesuai dengan ketentuan yan berlaku.
Bila dipikir-pikir nilai uang sebesar Rp945 miliar tersebut bukanlah jumlah yang sedikit. Andaikata digunakan untuk membangun rumah kaum duafa, maka akan memberikan manfaat bagi sekitar 6.300 orang dengan asumsi per unit rumah seharga Rp150 juta. Bila diberikan dalam bentuk beasiswa kepada anak miskin dan yatim-piatu, maka akan terbantu biaya pendidikan paling sedikit 189.000 orang dengan asumsi per orang mendapat Rp5 juta.
Tahun 2016 ini, untuk keperluan kunker 560 anggota DPR dialokasikan anggaran sebesar Rp1,4 triliun dalam APBN. Nilai ini setara dengan APBD dua kabupaten di Aceh. Bila angka tersebut dibagi rata maka setiap anggota dewan mendapat jatah sebesar Rp2,5 miliar per tahun hanya untuk uang jalan kunker saja. Jumlah tersebut bertambah sebesar Rp160 M jika dibandingkan dengan anggaran kunker tahun sebelumnya sebesar Rp1,24 triliun.
Untuk bisa mengambil uang itu, maka setiap anggota dewan harus melaksanakan kegiatan yang biasa disebut kunjungan kerja (kunker). Setiap tahun masing-masing anggota DPR dijatahkan lima kali kunker selama masa reses. Dimana sekali kunker di masa reses itu, mendapat jatah uang jalan sebesar Rp225 juta. Sungguh jumlah yang sangat fantastis.
Selain itu juga ada kegiatan kunker di luar masa reses, kunker alat kelengkapan DPR yang tiap tahun dilakukan lima kali dan ada pula kunker ke luar negeri. Kesemua bentuk kegiatan itulah diberikan uang jalan kepada setiap anggota dewan.
Lagi-lagi terkait dengan uang jalan, pada 17 Mei 2016 puluhan mahasiswa Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Syiah Kuala melakukan demonstrasi di Gedung Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA), Banda Aceh. Mereka memprotes disertai penggeledahan ruang kerja anggota DPRA, dikarenakan pihak DPRA meminta lagi dana tambahan untuk perjalanan dinas pada tahun 2016 (http://aceh.tribunnews.com, 17/5/2016).
Menurut informasi, di tahun 2016 kepada 81 orang anggota DPRA telah dialokasikan dana perjalanan dinas sebesar Rp4,6 miliar, yang terdiri dari biaya perjalanan dinas dalam daerah sebesar Rp2,8 miliar dan untuk biaya perjalanan dinas luar daerah sebesar Rp1,8 miliar. Namun belum habis semester I tahun 2016, konon dikabarkan dana perjalanan dinas sudah “ludes” dan DPRA minta tambah lagi kepada eksekutif.
Pada hakikatnya dalam peraturan keuangan negara, tidak dikenal dengan sebutan “uang jalan”. Namun secara resminya adalah belanja perjalanan dinas. Dalam keseharian, masyarakat awam cenderung mengatakan itu adalah uang jalan. Mungkin karena dimata mereka, dengan uang itu anggota dewan dapat jalan-jalan atau melancong ke tempat-tempat tertentu yang diinginkannya dan sepulang dari itu dapat pula berbelanja “buah tangan” kepada sanak keluarga. Sekali lagi, itu mungkin asumsi dari masyarakat awam.
Mereka barang kali tidak tahu bahwa yang dilakukan oleh anggota dewan yang terhormat itu adalah bagian penting dari tugas dinas yang dilaksanakan dengan sungguh-sungguh dan penuh tanggung jawab. Dan sekembali dari tugas tersebut dapat membawa kebaikan bagi daerahnya.
Secara teknis terkait perjalanan dinas termasuk kepada anggota DPR selaku pejabat negara diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor: 113/PMK.05/2012, tanggal 3 Juli 2012 dan Peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan Nomor: Per-22/PB/2013, tanggal 30 Mei 2013.
Disebutkan yang dimaksud dengan perjalanan dinas jabatan adalah perjalanan dinas melewati batas kota dan/atau dalam kota dari tempat kedudukan ke tempat yang dituju, melaksanakan tugas, dan kembali ke tempat kedudukan semula di dalam negeri. Dalam praktiknya sebuah lembaga pemerintah dalam menjalankan tugas dan fungsinya perlu melakukan tugas-tugas yang sifatnya koordinasi maupun konsultasi dengan lembaga lainnya. Baik bersifat horizontal maupun vertikal.
Lembaga pemerintah yang kedudukan di daerah perlu berkoordinasi/konsultasi dengan lembaga pemerintah yang berada di pusat dan sebaliknya lembaga pemerintah yang berkedudukan di pusat perlu mengawasi dan menyerap aspirasi dari lembaga di daerah. Belum lagi terkait dengan keperluan pengembangan diri dari anggota organisasi, yang biasanya dilakukan oleh lembaga di atasnya yang lebih tinggi.
Atas dasar itulah timbul akun belanja perjalanan dinas dalam APBN/APBD. Jadi dengan kata lain, belanja perjalanan dinas merupakan salah satu mata anggaran yang wajib dialokasikan dalam dokumen pelaksanaan anggaran (DPA) kementerian/lembaga. Ketika ada kebijakan pemotongan anggaran perjalanan dinas, biasanya pimpinan lembaga terkait pasti kalang kabut dan mengeluh luar biasa disertai dengan seribu satu alasan, dengan harapan adanya penambahan lagi.
Prinsip Perjalanan Dinas
Dalam rangka melakukan perjalanan dinas, maka tentu harus didukung dengan dana, yang disebut belanja perjalanan dinas. Dana ini sangat penting bagi yang melaksanakan perjalanan dinas, untuk keperluannya selama tugas dinas itu.
Sewaktu pergi perjalanan dinas, maka kepada pejabat yang melakukan perjalanan dinas diberikan beberapa administrasi berupa surat tugas dan surat perjalanan dinas dari bagian sekretariat lembaga terkait.
Biasanya komponen yang diperhitungkan dalam biaya perjalanan dinas meliputi: uang harian, biaya transportasi pulang-pergi dan biaya penginapan serta uang representasi bagi pejabat eselon tertentu. Biaya itu ditanggung sepenuhnya selama masa perjalanan dinas pejabat terkait.
Sejak beberapa tahun belakangan ini biaya untuk perjalanan dinas di Indonesia dibayarkan menggunakan sistem at cost dari sebelumnya menganut sistem lumpsum. Sistem at cost adalah pembayaran biaya perjalanan dinas berdasarkan bukti pengeluaran riil. Sedangkan sistem lumpsum adalah pembayaran biaya perjalanan dinas dengan cara memperhitungkan terlebih dahulu keperluan biaya sebelum pelaksanaan perjalanan dinas dan dibayarkan sekaligus 100% di muka, tanpa wajib memperlihatkan bukti pengeluaran riil sepulang perjalanan dinas.
Karena pembayaran biaya perjalanan dinas ini menggunakan uang negara, maka seyogiyanya perjalanan dinas harus mengacu pada empat prinsip: selektif, ketersediaan anggaran, efisiensi, dan akuntabilitas.
Selektif maksudnya harus ada filter dan pengawasan ketat dari pimpinan terhadap orang-orang yang melakukan perjalanan dinas. Hanya kepada orang-orang berkepentingan dan relevan secara kedinasan serta terkait dengan tugas dan fungsi yang diembannya yang berhak melakukan perjalanan dinas.
Ketersediaan anggaran maksudnya perjalanan dinas tidak boleh dilakukan bila anggaran tidak tersedia atau tidak cukup tersedia. Efisiensi maksudnya perjalanan dinas harus diperhatikan asas kehematan keuangan negara, misalnya jumlah hari perjalanan dinas yang dibatasi, juga jumlah personil yang akan berangkat perlu dirasionalkan.
Sedangkan akuntabilitas adalah setiap perjalanan dinas yang telah dilakukan harus dapat dipertanggungjawabkan, baik secara administrasi keuangan maupun secara output dan impact dari kinerja tugas terkait. Dan diharapkan pelaksanaan riil perjalanan dinas benar-benar sesuai dengan yang dilaporkan secara administrasi.
Modus Operandi Korupsi Biaya Perjalanan Dinas
Kini telah berubah tren korupsi bagi oknum pejabat di beberapa lembaga pemerintahan, terutama bagi oknum pejabat yang menduduki posisi basah alias posisi strategis. Bila dulu mereka empuk memakan uang korupsi melalui pengadaan barang/jasa, kini mereka lebih mencari titik aman melalui modus perjalanan dinas.
Berbagai modus operandi korupsi dana perjalanan dinas diuraikan sebagai berikut: pertama, frekuensi perjalanan dinas. Oknum pejabat terkait dengan disengaja sebentar-bentar melakukan perjalanan dinas, padahal bila lihat tidak terlalu urgen kegiatan tersebut. Kedua, tiket pesawat. Ada kerja sama dengan oknum travel untuk meninggikan harga tiket pesawat dari tarif yang sebenarnya.
Ketiga, penginapan. Juga dengan cara meninggikan harga kamar dari harga sebenarnya. Ada juga dengan cara menginap di rumah saudara atau menginap di asrama perwakilan pemerintah setempat selama perjalanan dinas –artinya biaya penginapan gratis, namun dipertanggungjawabkan dengan bill hotel.
Keempat, jumlah hari dan jumlah personil. Jumlah hari perjalanan dinas yang riil dilaksanakan lebih sedikit, sedangkan secara administrasi keuangan dipertanggungjawabkan secara penuh. Demikian juga terkait personil, secara administrasi jumlah personil yang melakukan perjalanan dinas banyak, sedangkan dalam kenyataannya sedikit.
Kecurangan lewat perjalanan dinas ini, terkadang sulit terdeteksi oleh pihak pemeriksa dan butuh ketelitian yang mendalam. Pemeriksa terkadang harus mengeluarkan semua “ilmu kanuragan” dan harus meng-eksplor “ jurus” audit tertentu untuk mendeteksi hal ini.
Upaya pencegahannya
Perlu dirancang sistem pencegahan terkait potensi kecurangan dalam melakukan perjalanan dinas ini. Penulis mengusulan kepada pimpinan lembaga terkait untuk menerapkan apa yang disebut “three lines defense model” atau model pertahanan tiga lapis. Penerapan model ini diyakini dapat mencegah atas upaya kecurangan yang akan terjadi.
Pertahanan lapis pertama berada pada atasan yang secara langsung membawahi pegawainya/pejabat terkait. Atasan langsung ini harus memiliki integritas yang baik dan dapat memberikan keteladanan kepada bawannya. Jadi filter dan screening awal ini sangat menentukan dan ada pada atasan langsung ini. Kalau dulu hal semacam ini dikenal dengan pengawasan melekat (Waskat).
Pertahanan lapis kedua berada pada pucuk pimpinan lembaga terkait. Ketika potensi kecurangan lolos dari filter dan screening dari atasan langsung, maka masih ada benteng pertahanan kedua yang ada pada kekuasaan pucuk pimpinan. Dialah yang berwenang mencegahnya.
Sedangkan pertahanan lapis ketiga adalah berupa pengawasan dan pemeriksaan yang dilakukan oleh auditor, baik auditor internal maupun auditor eksternal. Biasanya yang ekstrem dan paling berani mengangkat kecurangan semacam ini adalah Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) selaku auditor eksternal yang independen.
Namun demikian, ketika semua pihak berkolusi dan kongkalikong, apapun model pencegahan yang diterapkan tentu menjadi tumpul dan tiada berguna.
Tentu publik mengharapkan setiap perjalanan dinas yang dilakukan harus sesuai antara yang dilaporkan dengan keadaan sebenarnya dan patuh pada ketentuan yang berlaku. Yang paling penting adalah dapat menghasilkan output dan impact bagi organisasi dan daerah. Demikian, wassalam. []
Penulis:
Zainal Putra, SE, MM. (Dosen Universitas Teuku Umar, sekarang auditor ahli pada salah satu kementerian pusat di Jakarta, staf ahli pada Kantor Jasa Akuntansi I Putu Gede Diatmika, dewan pakar pada Aceh Research Institute dan anggota Forum Olah Raga Karate-Do Indonesia-FORKI Cabang Kab. Aceh Barat Periode 2015-2019).
Discussion about this post