ALFIAN minta izin pamit jelang Magrib. Sementara aku dan Muti mulai tinggal bersama Ayah Saridin.
Usai salat dan makan, Ayah Saridin mengajakku cari angin di sekitar flat tempat tinggalnya. Kami menuju taman.
“Kau kenal dengan Teungku Muhammad Nur, Musa?” ujarnya memulai percakapan.
“Ya. Saya kenal dengan beliau. Kami sama-sama pernah di Kandang, Aceh Utara. Teungku Muhammad Nur yang aktivis SURA itukan maksud Ayah?” kataku. Ayah Saridin mengangguk.
“Ya. Di Malaysia kantornya berada di sana. Namun sejak awal Januari lalu, dia ditangkap kepolisian Malaysia. Tiga bulan di penjara, dia kemudian dideportasi ke Amerika. Kantornya pas di depan flat kita,” ujar Ayah Saridin.
“Seandainya tanpa pertolongan Alice Marianah, anak seorang pendeta di Malaysia, mungkin Teungku Muhammad Nur akan dikirim ke Indonesia. Jika langkah ini terjadi, tentu sulit untuk membebaskannya,” kata Ayah lagi. Aku cuma terdiam mendengar penuturan Ayah Saridin.
“Kini yang tinggal adalah Komuniti Aceh. Sekolah bagi anak-anak asal Aceh. Anakku yang tertua, perempuan, bersekolah di sana tiap harinya,” ujar Ayah Saridin.
Ayah Saridin kemudian terdiam. Aku tahu bahwa penjelasan Ayah Saridin soal Komuniti Aceh tadi hanyalah awal pembuka baginya untuk menyampaikan unek-unek soal isu negative yang melandanya selama ini.
“Aku diklaim sebagai salah satu orang yang terlibat dan menerima uang dari Indonesia yang dibawa Tarmizi. Tujuannya agar semua pasukan GAM yang berada di Malaysia menyerah dan perjanjian di Helsinki gagal. Itu tidak benar adanya,” kata Ayah Saridin.
“Aku tak pernah mengambil uang itu. Ada yang mengambil uang, tapi bukan aku. Soal uang itu pun tak seperti yang disangka-sangka oleh semua orang Aceh selama ini,” ujar Ayah.
Aku mulai tertarik mendengar penjelasan Ayah Saridin. Dia sepertinya mengetahui rahasia besar soal lobi-lobi pihak Indonesia melalui Tarmizi, pejabat Pase, agar seluruh orang GAM di Malaysia menyerah.
“Sebagaimana yang kamu ketahui, Tarmizi memang dikirim untuk melobi Majelis GAM di Malaysia, agar seluruh GAM di Malaysia menyerah dan pulang ke Aceh. Dia datang dengan membawa uang dan cair untuk beberapa tahap,” ujar Ayah Saridin.
“Tahap pertama, kabarnya diberikan uang kopi sebagai tanda kesepakatan. Aku tak tahu siapa yang menerimanya. Sedangkan tahap dua, bernilai miliaran. Namun untuk mengambil uang ini, harus diserahkan senjata sebagai syarat,” kata Ayah.
“Saat itu, kami melapor ke pimpinan. Pimpinan kemudian meminta beberapa orang di Malaysia melakukan kontra intelijen. Uang itu disuruh ambil dan harus dikirim kembali ke Aceh untuk membeli senjata,” ujar Ayah Saridin.
“Jadi. Saya memang sempat memgikuti rapat dengan kelompok yang mengambil uang ini. Ini juga atas perintah pimpinan tapi bersifat rahasia. Namun saya tak menerima uang tadi. Tapi saya mengetahui siapa yang mengambilnya. Sayangnya, di Malaysia dan Aceh malah berkembang isu lain. Hal inilah yang akhirnya menyebabkan pro kontra,” ujar Ayah Saridin.
Aku mulai mengerti dengan persoalan yang sedang terjadi. Ternyata ada politik kontra intelijen dibalik misi penerimaan uang dari Tarmizi, pejabat Pase.
“Ternyata uang itu diambil dan digunakan untuk membeli senjata lagi. Dan Bang Yan tak mengetahui hal ini,” ujarku.
“Ya. Bang Yan marah besar. Dia murka ke Tarmizi yang jauh-jauh datang ke Malaysia untuk menyuruh GAM menyerah dan orang-orang yang menerima uang ini. Salah satu orang yang dianggap bersalah adalah saya. Bang Yan tak mengetahui motif serta perintah lain di balik cerita tadi,” kata Ayah Saridin.
Aku terdiam mendengarkan penjelasan Ayah Saridin. Sosok itu sudah seperti orang tua bagiku.
“Kenapa Ayah tak menjelaskan hal ini kepada Bang Yan dan Majelis GAM yang ada di sini? Bukankah dengan begitu tak ada lagi orang-orang yang berprasangka buruk terhadap Ayah dan orang-orang yang melaksanakan misi ini,” kataku kemudian.
“Tak bisa. Ini rahasia. Semakin banyak orang yang mengetahuinya, maka semakin besar peluang hal ini diketahui intelijen. Satu hal lain, menurut yang mengambil uang ini, uang tadi bisa diambil tanpa harus menyerahkan senjata,” kata Ayah Saridin.
“Tapi Ayah. Gara-gara peristiwa ini, masyarakat Aceh di Malaysia pecah dua. Mayoritas menganggap pihak yang mengambil sebagai pengkhianat bangsa,”kataku.
Ayah Saridin tiba-tiba berdiri. Dia kemudian menarik nafas panjang.
“Inilah resiko seorang prajurit bangsa Aceh. Kita siap dicap apapun. Aku menerangkan kepadamu, karena kau sudah kuanggap seperti saudaraku. Aku tak ingin kau memiliki prasangka yang sama terhadapku,” katanya. [Bersambung]
Cerita bersambung ini karya Musa AM
Discussion about this post