AKU dan Muti tiga hari bermalam di Hotel Kok Ping, Chowkit. Namun pada malam ke empat, kami pindah ke rumah Alfian.
Alfian menyewa rumah di samping Universitas Kebangsaan Malaysia. Rumah ini ditempati beberapa mahasiswa asal Aceh yang sedang kuliah di Malaysia. Di sanalah kami menginap.
Paginya, Alfian mengantar aku dan Muti ke Selayang, Malaysia. Tempat tinggal Ayah Saridin berada di komplek Taman Sri Murni, lantai 11 apartemen atau flat. Lokasi ini berhadapan dengan kantor SURA yang didirikan oleh Teungku Muhammad Nur. Di Malaysia, SURA lebih dikenal dengan sebutan Komuniti Aceh.
Ayah Saridin terkejut saat melihatku berdiri di depan pintu. Sosok itu tiba-tiba menangis dan memelukku erat-erat.
“Musa, akhirnya kita ketemu lagi,” ujarnya.
“Ya, Ayah. Kita ketemu lagi. Sebenarnya saya sudah tiba di Malaysia sekitar seminggu lalu, namun..,” kataku sambil melepaskan pelukan. Ayah Saridin tiba-tiba memotong perkataanku.
“Ya. Aku tahu. Tak usah diteruskan lagi. Ayo masuk. Anggap saja rumah sendiri,” ujar Ayah Saridin sambil menggiringku dan Muti ke ruang tamu. Alfian mengikuti kami dari arah belakang.
Isteri dan ketiga anak Ayah Saridin bersalaman dengan kami bertiga. Anak Ayah Saridin ternyata masih kecil-kecil. Satu perempuan yang paling tua dan dua lainnya laki-laki.
Muti dan isteri Ayah Saridin menuju dapur untuk membuat kopi. Hal ini membuat ketiga anak kecil tadi mengikuti ibunya. Aku dan Alfian terdiam.
“Ada banyak pasukan asal Pase yang tak berani menjumpaiku selama di Malaysia. Demikian juga dengan warga Aceh di sini. Aku dikucilkan karena kesalahanku yang fatal,” ujarnya pelan. Panglima Operasi GAM wilayah Pase itu tertunduk lesu.
“Belum lagi, ada isu kalau aku termasuk salah seorang yang sepakat menerima uang dari Tarmizi, pejabat Pase itu. Padahal, aku sama sekali tak terlibat. Aku bersumpah tak mengambil uang itu, Musa,” ujarnya lagi.
Aku terdiam mendengarkan unek-unek Ayah Saridin. Kehidupan Ayah Saridin sangat memprihatinkan. Tempat tinggalnya sempit serta hanya memiliki dua kamar.
“Maafkan kami Ayah. Bang Yan sebenarnya menitip pesan bahwa selaku panglima operasi, Ayah Saridin tahu apa yang Ayah perbuat hari ini. Ini membutuhkan tanggungjawab Ayah kepada panglima selaku atasan nantinya,” kataku kemudian.
Kali ini giliran Ayah Saridin yang terdiam. Sosok itu berkali-kali menarik nafas panjang.
Istri dan anak Ayah Saridin kemudian muncul dari dapur. Mereka membawa kopi hitam kesukaan Ayah Saridin. Muti muncul dari belakang mereka dengan membawa kue. Suasana yang tadinya kaku, seketika berubah. Apalagi tingkah ketiga anak Ayah Saridin sungguh lucu-lucu.
“Aku sangat berharap kalian bisa tinggal di sini, Musa. Aku butuh kawan untuk diskusi. Dengan segala kejadian yang pernah kita lalui, tentu kamu tak meragukan ketulusanku bukan?” ujar Ayah Saridin.
“Sebenarnya saya juga berharap demikian. Namun bagaimana dengan anak-anak? Bukankah kamar tidur cuma dua?” kataku.
“Anak-anak bisa tidur di ruang tamu. Aku berharap kamu bisa tinggal bersamaku dan tak berpikir buruk seperti yang lainnya,” ujarnya.
Aku tersenyum mendengarkan penjelasan dari Ayah Saridin. “Baiklah kalau begitu Ayah. Saya akan tinggal di sini sementara waktu. Kedepan, saya rencananya mencari tempat tinggal. Saya tak ingin menyusahkan Ayah Saridin,” ujarku.
“Tak perlu. Aku malah senang kamu ada di sini. Aku perlu kawan. Selama tinggal di sini dan beragam isu yang berkembang, aku merasa seperti tentara yang berada di lokasi pembuangan,” katanya tertunduk.
“Walaupun aku tahu, ini juga karena kesalahanku sendiri,” ujar Ayah Saridin lagi. Istrinya memegang erat-erat tangan Ayah Saridin. Mimik wajahnya serius. Sepertinya, sang istri ingin memberi kekuatan kepada Ayah Saridin untuk menghadapi masalah tersebut. [Bersambung]
Cerita bersambung ini karya Musa AM
Discussion about this post