MEDIAACEH.CO, Banda Aceh – Teuku Afifuddin seniman Aceh bercerita tentang sosok Adnan PMTOH di atas panggung terapung yang berdiri di tengah Krueng Aceh di pekarangan taman Putroe Phang, dia memperagakan gerakan kocak ala teater pada Jumat Malam 27 Mei 2016 di acara Ujian Terbuka Program Doktoral Sulaiman Juned.
Cerita kehidupan Adnan PMTOH dibalut dengan sedemikian rupa, dipadukan dengan seni tutur, sehingga menjadi sangat menarik.
Teuku Afifuddin mulai bercerita, di tengah deru angin di malam yang pekat dibantu dengan pencahayaan lampu ditambah latar Pinto Khop membuat pendengar semakin khidmat.
Di sebuah negeri di bawah angin tepatnya di Manggeng, Aceh selatan pada 1 Desember 1931 lahir seorang anak dari pasangan Polem dan Pocut Zakiyah pada 1 Desember 1931.
Pasangan Polem dan Pocut Zakiyah sangat bahagia, anak itu dinamakan Muhammad Adnan bin Polem.
Waktu kecil Adnan tidak beda dengan anak-anak yang lainnya, Adnan berperilaku dan bermain sebagaimana layaknya anak kecil seusianya.
"Mainnya sering ke sungai, menangkap kecebong (abiek-abiek) sama seperti anak yang lain," kata Teuku Afifuddin sambil memainkan teater.
Adnan kecil menimba ilmu di Sekolah Rakyat, namun menurut Afifuddin, Adnan tidak tamat di sekolah itu.
Tidak belajar di sekolah, bukan berarti Adnan malas, tapi dia ingin mendalami ilmu agama di dayah.
"Adnan tidak sama seperti yang lain, dia hanya sekolah setengah, Adnan berhenti sekolah mendapat restu dari orang tuanya, dengan syarat untuk menimba ilmu agama (jak beut)," ujar calon walikota Langsa ini.
Ketika remaja Adnan mulai tertarik dengan hikayat, ia sangat gemar mengikuti setiap penampilan Muhammad Yusuf yang akrab disapa Mak Lape pendiri seni tutur Dangderia.
Awal ketertarika Adnan pada seni tutur itu dengan meniru setiap gerakan yang sering dilakukan oleh Mak Lape dalam berhikayat.
Saban hari, akhirnya Adnan memutuskan untuk belajar seni tutur Dangderia kepada Mak Lape.
"Adnan setiap hari mengikuti Mak Lape, di mana ada Mak Lape di situ ada Adnan, tapi di setiap ada Adnan belum tentu ada Mak Lape," ujar Afifuddin.
Akhirnya, pada tahun 1957 Adnan selesai berguru kepada Mak Lape. Mulai saat itu Adnan bermain hikayat sendiri di tengah keramaian, Adnan merupakan seorang penjual obat tradisional, sambil berdagang Adnan menunjukkan bakatnya dalam memainkan seni tutur.
"Dari situ Adnan mengembangkan seni tutur sambil jual obat, Adnan menjual minyak lawang ke semua tempat, jual obat sebelum hikayat."
Sebagai pedagang dan seniman tutur, Adnan tidak terpaku pada tempat kelahirannya Manggeng, dengan berbekal ilmu yang diwarisi Mak Lape, Adnan mulai menjelajah ke seluruh pelosok Aceh untuk memperkenalkan seni tutur warisan Mak Lape.
"Kendaraan waktu itu cuma satu setiap pergi ke satu tempat Adnan selalu naik bus PMTOH," ujar Afifuddin.
Karena sering naik bus PMTOH, kemudian Adnan digelar dengan nama Adnan PMTOH. Selain itu Adnan juga meniru suara klakson PMTOH disetiap penampilannya.
Karir Adnan PMTOH melejit pesat, penampilannya dari satu panggung ke panggung lainnya membuat namanya semakin tenar se antero Nusantara, hingga sebuah televisi nasional menyediakan sebuah saluran acara khusus penampilan seni tutur Adnan PMTOH.
"Saat itu Adnan dicari orang, sampai TVRI membuat acara untuk Adnan," kata Afifuddin.
Improvisasi yang dilakukan Adnan PMTOH atas karya yang dibangun Mak Lape membuat ia lebih terkenal dibanding gurunya.
"Dia mulai improvisasi contohnya dalam menceritakan Malem Diwa sudah menggunakan alat peraga seperti senjata mainan dan menggunakan mainan-mainan lainnya, semua mainan ada sama Adnan," kata Afifuddin.
Selama hidupnya Adnan telah berhikayat selama 40 tahun hingga penampilannya tersebut dikagumi oleh penduduk
Internasional.
"Ada seorang bule yang melihat Tgk Adnan ia tertarik dengan cerita Malem diwa yang mampu dibawakan Tgk Adnan sampai tujuh hari," kata Afifuddin.
Majalah New York Time pernah menerbitkan sebuah tulisan tentang kehebatan Adnan dalam berhikayat. "Adnan telah berhikayat selama 40 tahun. Namun, satu pengeras suara pun tidak dikasih oleh pemerintah Aceh."
Yang membuat Adnan sedih, kata Afifuddin, saat usulan Adnan agar seni tutur diajarkan di setiap sekolah dan ia meminta agar buku yang ia tulis tentang seni tutur diterbitkan agar menjadi pedoman bagi para pecinta seni tutur, usulan ini tidak diterima oleh Pemerintah Aceh saat itu.
Pada 26 Desember 2004 lalu, Aceh dilanda gempa dan Tsunami, Adnan saat itu berada di kampung istrinya Trieng Gadeng. Adnan terhempas sejauh 200 meter dari rumahnya, air juga ikut serta membawa sebuah tong yang berisi alat peraga yang digunakan Adnan saat berhikayat. Sejak saat itu Adnan berhenti berhikayat.
"Setelah tsunami semua sudah tiada lagi," ujar Afifuddin dengan nada sedih.
Sekarang lelaki itu telah tiada, tepatnya pada bulan Juli 2006 Adnan menghembuskan nafas terakhir di rumah Sakit Umum Zainal Abidin.
Aceh telah kehilangan sosok putra terbaik, dengan jasa-jasanya yang memperkenalkan seni asli Aceh kepada para penduduk dunia.
Adnan pergi untuk selama- lamanya, permintaannya kepada pemerintah tempo hari, membuat dirinya sedih, dunia telah kehilangan seorang seniman besar, seni tutur tetap ada, namun warisan seni tutur ala Adnan PMTOH tidak ada yang menyamai.
"Bukan Aceh yang rugi, bukan Indonesia yang rugi, dunia internasional rugi," ujar Afifuddin diikuti tepuk tangan yang meriah dari para penonton.[]
Laporan Wildan El Fadhil | Banda Aceh
Discussion about this post