Suka Duka di Malaysia
USAI nikah, Teungku Agam memanggilku. Sosok itu mengajakku menjauh dari keramaian. Sepertinya dia ingin berbicara empat mata. Mimik wajahnya terlihat serius.
“Begini, Musa. Berapa banyak uang yang kau bawa dari Aceh?” ujarnya tiba-tiba. Aku sedikit terkejut mendengarkan penuturannya. Apalagi sosok itu tiba-tiba membahas persoalan uang.
“Terus terang teungku. Saya tak memiliki uang sepeser pun hingga tiba di sini. Makanya saya sangat berharap bantuan rekan-rekan yang sudah sukses di sini,” kataku pelan.
Mimik wajah Teungku Agam terlihat berubah. Wajahnya menyiratkan rasa tak percaya.
“Tapi bukankah kau salah seorang pemegang keuangan di Pase?” tanyanya lagi dengan nada tak percaya.
“Ya. Tapi itu adalah uang nanggroe. Saya tak berani menyentuh uang tersebut tanpa perintah atau sepengetahuan Bang Yan,” kataku.
“Uang tersebut untuk keperluan pasukan di Aceh. Sedangkan uang milik saya pribadi tinggal sedikit lagi,” ujarku lagi.
Aku dan Teungku Agam sempat terdiam. Ada rasa tak enak yang muncul usai kami membahas persoalan tersebut. Teungku Agam kemudian mengalihkan pembicaraan ke persoalan lainnya. Salah satunya kondisi Aceh pasca tsunami. Beberapa menit kemudian, Teungku Agam meninggalkanku sendiri. Dia kembali bergabung dengan beberapa warga Aceh hadir dalam pernikahanku.
Nurjuli yang melihatku menyendiri, datang menghampiri.
“Musa. Sebagai hadiah pernikahanmu, aku akan menyewa hotel paling mewah di Kuala Lumpur untukmu berbulan madu semalam. Ini hadiahku untukmu,” kata Nurjuli.
Aku tersenyum mendengarkan hadiah dari Nurjuli. Ini hadiah yang luar biasa bagiku. Namun aku tak ingin merayakan bulan madu dengan mewah untuk sehari, tapi kemudian harus terluntang-luntang tanpa uang. Apalagi, aku hidup di negeri orang.
“Begini teungku. Saya berterimakasih atas bantuan ini. Tapi apa bisa saya minta disewakan hotel paling murah di Kuala Lumpur, namun untuk seminggu,” ujarku.
Permintaan ini aku sampaikan dengan berbagai pertimbangan. Pasalnya, aku perlu bertahan untuk seminggu kemudian jika sekira tak ada lagi orang Aceh yang bisa membantuku.
Aku perlu waktu untuk menjalin kembali komunikasi dengan seluruh pasukanku yang berada di Malaysia dan Aceh. Satu minggu di hotel paling murah tentu lebih berharga dibandingkan dengan satu hari di hotel paling mahal di Kuala Lumpur.
Nurjuli mengabulkan permintaanku. Sosok itu kemudian menyewa kamar paling murah, seperti permintaanku, di salah satu hotel di kawasan Chowkit, Malaysia.
Chowkit merupakan daerah yang banyak didomisili oleh pendatang asal Aceh. Hampir 80 persen warga di sana berada dari Aceh. Warga Aceh memonopoli pasar Chowkit. Mulai pedagang, preman, penjual ikan hingga penjual jamu adalah warga Aceh. Bahasa Aceh adalah hal yang lumrah kita dengar selama di Chowkit. Berada di Chowkit membuat terasa di Aceh.
Hari pertama di Chowkit, aku mulai kehabisan uang. Namun aku malu untuk kembali meminta bantu pada Nurjuli dan Teungku Agam. Nurjuli sudah membantuku untuk menyewa tempat tinggal di Chowkit. Sementara untuk meminta bantu pada Teungku Agam, membuatku segan.
Beruntung, secara tak sengaja aku berkenalan Sayed saat berada di salah satu sudut pasar Chowkit. Sayed merupakan salah seorang warga asal Aceh yang sudah lama bekerja di Malaysia. Sayed termasuk orang yang menghindari konflik Aceh. Dia datang ke Malaysia tahun 1998. Kini Sayed membuka kedai runcit di Chowkit. Kedai Sayed selalu ramai. Hal ini pula yang akhirnya membuatnya membawa serta seluruh keluarga kesana.
Kepada Sayed, aku menceritakan persoalan yang kuhadapi, termasuk kondisi keuangan yang kini kosong. Aku juga menjelaskan soal perjalanan hidupku dari Aceh hingga ke Malaysia. Sayed ternyata tersentuh dengan ceritaku. Dia kemudian memberikan beberapa lembar uang ringgit Malaysia kepadaku.
“Ini cukup untuk bertahan seminggu. Nanti kalau ada kemudahan, saya bantu lagi. Aku berharap kamu tabah,” ujar Sayed.
Bantuan dari Sayed ini sangat membantuku. Aku merasa bahwa Tuhan selalu hadir membantuku saat-saat kesusahan. Allah SWT membantuku melalui orang-orang seperti Sayed. [Bersambung]
Cerita bersambung ini karya Musa AM
Baca Juga:
Discussion about this post