KETIKA seseorang jatuh, entah karena terpeleset atau tersandung, sering kali memicu tawa orang-orang yang melihatnya. Ya, terkadang manusia menertawakan 'kesialan' orang lain, meski mungkin sebenarnya tidak bermaksud untuk mengolok-olok.
Sering dilihat dalam tayangan lawak, salah satu pemain menjadi 'bulan-bulan' teman-temannya lantaran didorong hingga terjatuh, tertimpa atau menimpa properti hingga rusak, ataupun disiram dengan bedak dan semacamnya. Terkadang ada pula adegan menjegal salah satu pemain sampai terjatuh ataupun menendang bagian selangkangan si pemain hingga berekspresi seperti kesakitan. Mengapa hal-hal seperti ini sering dianggap lucu dan menggelikan?
Dr William F. Fry, psikiater dan pendiri gelotologi alias ilmu yang mempelajari tawa di Stanford University menuturkan tidak semua peristiwa orang jatuh memicu tawa orang lain. Jika konteksnya serius, misalnya seseorang yang jatuh dari lantai enam suatu bangunan dan kemudian tewas maka tidak akan memicu tawa, melainkan kengerian. Namun jika konteksnya tidak berdampak serius, maka inilah yang biasanya bisa membuat orang lain tertawa.
Orang yang tiba-tiba terjatuh, baik karena terpeleset atau tersandung, biasanya dikaitkan dengan keganjilan. Dikatakan ganjil lantaran dinilai sebagai kemustahilan logis dan ketidaktepatan. Seharusnya orang berjalan tidak akan jatuh, namun karena ketidak tepatan, misalnya karena kurang hati-hati, maka bisa jatuh.
William mencontohkan badut memakai sepatu besar atau orang yang memiliki hidung sangat besar sering dianggap lucu. Ini karena anggapan ketidaktepatan. Demikian dikutip dari Medical Daily, Senin (7/3/2016).
Menurut teori filsuf Henri Bergson masyarakat 'melatih' menertawakan perilaku ceroboh dan eksentrik sebagai sarana untuk menetapkan pedoman umum. Misalnya ketika orang jatuh saat sedang berjalan, dinilai sebagai tingkah yang ceroboh. Karena ada tertawaan dari orang lain, maka ini bisa menjadi pengingat untuk memperhatikan aturan tidak tertulis di masyarakat: bahwa jika tidak ingin ditertawakan maka bersikaplah sewajarnya.
Sementara filsuf Thomas Hobbes menuturkan tawa muncul dari perasaan superioritas. Tawa yang meledak akibat melihat kemalangan orang lain merupakan buntut dari rasa superior. Sering dilihat di dalam kelas, siswa yang tidak bisa menjawab pertanyaan gurunya ditertawakan oleh siswa lainnya.
Dalam kasus ini, menertawakan orang yang malang merupakan cara untuk meremehkan orang lain. Karena merasa bisa meremehkan orang lain, lantas merasa seperti mendapat kekuasaan.
Penjelasan lainnya, menertawakan orang yang jatuh bisa jadi secara natural 'diatur' oleh otak. Beberapa neurolog mengatakan adanya saraf cermin, di mana saat melihat orang jatuh membuat seseorang juga merasa seperti jatuh dan akhirnya membuat malu. Hal itu bisa memicu tawa.
Selain itu jarak psikologis juga disebut-sebut terlibat dalam munculnya tawa saat melihat orang lain jatuh. Jika orang yang jatuh itu tidak dikenal dan tidak dekat secara personal, maka ketika dia jatuh lebih mudah memicu tawa dan bahkan tidak memicu empati. Beda halnya jika peristiwa itu terjadi pada orang dekat seperti ayahnya sendiri, ibunya sendiri, anaknya sendiri, ataupun dirinya sendiri.
Sumber: Detik
Discussion about this post