Perjuangan dari Tanah Malaya
Kuala Lumpur, September 2004
PRIA itu mematung. Dia hampir satu jam memandangi lampu Komplek Taman Sri Murni Melayu. Entah apa yang istimewa dari keberadaan kelab-kelip lampu di jalanan itu.
Namun sosok itu tampaknya betah dengan suasana tersebut. Peci putih masih melekat di kepala. Sesekali dia mengaruk kepala dan kemudian menghembus nafas panjang.
Ia sepertinya sedang memikirkan sesuatu. Sementara beberapa pria lain menatapnya dari arah belakang.
Di sana ada Imum Jhon, Isda, Hasan Basri atau disapa Nek, Jamaluddin, Abu Yuh Perlak serta beberapa warga asal Aceh lainnya. Mereka adalah pelarian asal Aceh yang mendapat perlindungan di Malaysia.
Ya, beberapa bulan terakhir mereka berlindung di Kantor Suara Rakyat Aceh (SURA) di Komplek Taman Sri Murni Melayu, Selayang, Kuala Lumpur, Malaysia. Kantor ini berada di lantai 7 gedung dalam komplek tersebut.
Semua aktivitas dan keperluan kantor SURA dibiayai oleh 10 NGO, termasuk JRS dan Malaysian Care.
Keberadaan SURA ini membawahi 17 distrik di Malaysia. Dimana, dari seluruh distrik tersebut menampung 50 ribu lebih warga pelarian dari Aceh. Mayoritas adalah korban konflik.
Di Malaysia, warga pelarian Aceh rata-rata telah memperoleh card UNHCR. Badan ini didirikan pada tanggal 14 Desember 1950, bertujuan untuk melindungi dan memberikan bantuan kepada pengungsi berdasarkan permintaan sebuah pemerintahan atau PBB kemudian untuk mendampingi para pengungsi tersebut dalam proses pemindahan tempat menetap mereka ke tempat yang baru.
“Apa yang sedang Anda pikirkan, Teungku,” ujar Nek Hasan tiba-tiba.
Pria tadi kemudian melihat ke belakang. Dia mencoba tersenyum ke arah Nek Hasan.
“Apa Anda masih memikirkan pertemuan dengan Pak Tarmizi, beberapa waktu lalu?” tanya Nek Hasan lagi.
Kening pria tadi berkerut. Dia mencoba mengingat sosok Pak Tarmizi yang dimaksud oleh Nek Hasan.
“Apakah yang kau maksud itu Tarmizi pejabat Pase itu? Tidak saya tidak sedang memikirkannya. Hanya membuang-buang waktu memikirkan sosok yang datang dan meminta kita menyerah itu,” ujar pria tadi.
“Tapi Teungku Muhammad. Bukankah uang yang dibawanya sangat banyak?” sindir Nek Hasan lagi sambil tersenyum.
“Uang yang banyak tidak menjamin kebahagian. Di Aceh, ada ribuan tentara nanggroe yang sedang berjuang hidup mati untuk perjuangan. Nilai ini tak bisa ditukar dengan apapun,” kata pria yang disapa Teungku Muhammad itu.
Pria yang disapa Teungku Muhammad masih ingat benar pertemuannya dengan Tarmizi, beberapa bulan lalu. Sang pejabat itu datang ke Malaysia dengan ditemani Imum Chiek Baiturrahman Lhokseumawe serta Sofyan yang memiliki relasi kuat di pemerintah Indonesia.
Kedatangan mereka ke Malaya untuk bertemu dengan Ulee Majeulih GAM di Malaysia, Teungku Kadir. Tujuan meminta agar seluruh pelarian asal Aceh di Malaysia untuk segera dipulangkan ke Indonesia.
Jika ini terjadi, maka Indonesia akan dengan mudah menaklukan perjuangan Aceh. Pengiringan opini secara besar-besaran akan terjadi. Dimana, semangat pejuang di Aceh pun akan sirna.
Selain itu, kalau semua pengungsi asal Aceh pulang ke Aceh akan diisukan semua GAM luar negeri sudah menyerah dan kembali ke NKRI. Ini diduga tujuan nya hanya untuk menggagalkan perundingan yang akan di laksanakan di Tokyo, Jepang.
Namun sayangnya, Ulee Majelis GAM di Malaysia tak mau bertemu dengan ketiga sosok ini.
Para tokoh Aceh ini justru meminta dirinya untuk menemui Tarmizi Cs. Teungku Muhammad kemudian mengajak seorang Plisi GAM Pase, Abubakar Bungkah.
Di depan mereka berdua, Tarmizi menyampaikan hal tadi. Tak lupa, sosok itu juga menyiapkan uang sekoper untuk dirinya jika mampu menyakinkan tokoh Aceh di Malaysia untuk membawa pulang seluruh pelarian Aceh kembali ke Indonesia. Namun tawaran ini ditolaknya mentah-mentah.
Namun Teungku Muhammad tak ingin mengkhianati perjuangan. Lobi Tarmizi Cs gagal.
“Bukan. Saya sedang tidak memikirkan hal itu. Biarpun kekecewaan terhadap sosok itu masih ada,” kata Teungku Muhammad.
Nek Hasan tersenyum. “Lantas apa yang membuatmu bentah memandangi jalanan hingga berjam-jam,” ujarnya lagi.
Teungku Muhammad tersenyum. Dia ternyata tak bisa menutupi kegudahannya dari Nek Hasan.
“Begini. Belakangan ini makin banyak Tentara Nanggroe yang menyeberang ke Malaysia. Rata-rata mengalami luka tembak yang serius. Ini sebagai petanda bahwa peperangan besar sedang terjadi di Aceh,” ujarnya kemudian.
“Aku tak dapat membayangkan sampai kapan Tentara Nanggroe mampu terus bertahan. Memikirkan hal ini membuatku sedih,” katanya lagi.
“Bukankah kita menampung seluruh tentara nanggroe yang sakit di sini. Kita obati mereka hingga sembuh dan kembali kita pulangkan ke Aceh untuk melanjutkan perjuangan,” ujar Nek Hasan.
“Ya. Kita mencoba berbuat semampu kita. Semoga dengan pengabdian selama ini tidak membuat panglima tertinggi di Aceh kecewa. Kita cuma bisa berharap cita-cita perjuangan ini tercapai. Ini karena sudah begitu banyak pengorbanan yang terjadi,” kata Teungku Muhammad Nur. [Bersambung]
Cerita bersambung ini karya Musa AM
Discussion about this post