RAIDER tadi berlalu dengan cepat. Dari bahasa yang digunakan, aku menduga kalau dia adalah keturunan Aceh.
Jika benar dia menyadari keberadaanku di Paya Cot Trieng, namun hanya berlalu tanpa mau menembak, maka hal tersebut merupakan keputusan yang amat langka. Padahal, sebagai seorang prajurit, mereka diharuskan membunuh sebelum dibunuh musuh. Aku sendiri juga tak akan menyesal bila harus membunuh musuh di medan perang.
Aku kemudian kembali merayap mencari tempat persembunyian yang baru. Aku mulai sadar bahwa perang Aceh ternyata sama-sama tak diharapkan bagi prajurit TNI dan tentara GAM.
Keadaanlah yang membuat TNI dan GAM bermusuhan. Kebetulan aku dilahirkan di Aceh dan ditakdirkan bergabung dengan GAM.
Dari kejauhan, Puly memberi isyarat kepadaku sambil menunjuk ke arah wajah. Hal ini berulangkali dilakukannya.
Dia seakan ingin berkata, “Lihat wajahmu.” Namun air Paya Cot Trieng terlalu keruk untuk bercermin. Aku kemudian mencoba menyapu wajah dan melihat beberapa tetes darah di wajahku. Aku terkejut!
“Apakah aku tertembak? Apakah ini darah ular tadi?” gumamku dalam hati. Aku memegang kepala, namun tak ada luka serius di sana.
Aku kembali mengoleskan lumpur pada wajah dan masuk dalam lumpur dengan hanya menyisakan kepala untuk mengamati keadaan. Trik ini sengaja kulakukan untuk memudahkan penyamaran.
Saat itu, matahari pagi mulai menyapa Cot Trieng.
Ini merupakan hari kedua pengepungan Paya Cot Trieng untuk jilid kedua. Rasa lapar mulai menyerang kami. Mungkin juga sedikit rasa takut akan kematian.
Di depan, aku melihat TNI mulai berganti personil. Beberapa mobil Reo mulai meninggalkan Paya Cot Trieng. Ada pasukan yang tak menggunakan baju militer. Serta ada juga pasukan yang meninggalkan Paya Cot Trieng dengan berjalan kaki.
“Mereka ternyata tidak berasal dari satu kompi atau kesatuan yang sama,” gumamku dalam hati.
Keberadaan Kompi yang berbeda tentu membuat prajurit TNI akan sangat berhati-hati dalam menembak. Tujuannya, agar mereka tak menembak teman mereka sendiri. Aku mulai berpikir bahwa hal tersebut merupakan celah bagi pasukan nanggroe untuk keluar dari Paya Cot Trieng.
Aku bertahan dalam lumpur hingga jelang Magrib. Seluruh anggota Raider ternyata tak menggunakan jalur yang sama untuk kembali kesatuan. Di hari kedua, TNI juga tak membombardir Paya Cot Trieng.
“Mungkin hari pertama adalah pengepungan serta hari kedua adalah pembersihan,” gumamku dalam hati.
Saat itu, aku keluar dari dalam rawa dan merayap ke arah Puly. Sosok itu tersenyum melihatku.
“Aku pikir. Kita punya kesempatan untuk keluar dari pengepungan ini,” ujarku sambil berbisik di telinga berlumpurnya.
“Tapi perlu sedikit keberanian dan nekat. Keselamatan 50:50. Kalau ketahuan bisa tertangkap atau ditembak mati,” ujarku lagi. Puly mengangguk.
“Kapan waktu keluar?” ujarnya lagi sambil berbisik.
“Besok pagi. Kira-kira pukul 07.00 WIB. Saat TNI berganti personil. Kita hanya punya waktu 15 menit untuk keluar dan menghilang. Tolong beritahu kawan-kawan lainnya,” ujarku.
Puly mengangguk. Aku tersenyum. Puly kemudian tertidur lemas di sisiku. “Aku lapar. Sangat lapar,” katanya.
Puly kemudian memberi isyarat kepada seluruh pasukan nanggroe untuk berkumpul di kami. Namun dia tetap meminta seluruh pasukan berhati-hati.
Saat semua berkumpul, Puly kembali berbisik mengenai apa yang aku sampaikan kepada dirinya tadi. Kami sepakat untuk keluar.
Tak berapa lama, suara azan Magrib terdengar dari kejauhan. Malam kemudian menyapa. Awan gelap mulai menyelimuti Paya Cot Trieng. Aku coba berbaring dalam lumpur dan berharap pagi segera menyapa.
Malam itu, jarum jam terasa berjalan dengan sangat lamban. Suasana terasa hening. Namun waktu yang ditunggu pun akhirnya tiba.
Sekitar pukul 06.55 WIB, aku memberi isyarat kepada anggota pasukan nanggroe untuk mulai menyeberangi rawa. Kami menyusup di antara pasukan TNI yang tak menggunakan seragam.
Ini merupakan uji nyali. Berharap TNI berpikir bahwa kami adalah personil mereka. [Bersambung]
Cerita bersambung ini karya Musa AM
Discussion about this post