RIBUAN tentara republik mulai menyemut di pesisir Paya Cot Trieng. Mereka turun dari truk Reo. Ada juga tank lapis baja yang moncong-nya mengarah ke kami.
Dari berbagai sudut, aku juga melihat tentara republik mulai menurunkan meriam kodok. Sejenis pelontar granat.
Beberapa anggota piket dari pasukan nanggroe mencoba membidik perwira TNI. Namun aku buru buru melarang mereka.
"Jangan, nanti mereka mengetahui keberadaan kita," ujarku. Sang pasukan kemudian menurunkan moncong senjata AK 47 miliknya.
"Benar kata, Pakwa. Jangan menembak dulu. Kalau kita menembak, mereka akan lebih mudah mengetahui keberadaan kita dan menyerang," kata sosok di belakangku.
Ternyata sosok itu adalah Puly. Dia ternyata sudah bangun. Di dekatnya ada Nyak Har, Apa Malok serta Husaini POM.
"Apa yang harus kita lakukan,Pakwa? Kau biasanya memiliki ide cemerlang," ujar Puly lagi.
Aku terdiam. Aku mencoba memikirkan cara agar kami semua bisa selamat dari kepungan ini. Jujur, selama ini belum ada pengepungan dengan jumlah lawan seramai ini.
"Dum," suara ledakan itu terdengar. Jaraknya hanya sekitar 300 meter dari kami. Kumpalan asap dan api terlihat muncul dari tanah. Suaranya memekik di telinga.
"Dum, dum, dum,….dum, dum."
Suara itu kembali terdengar. Paya Cot Trieng mulai dibombardir dengan granat dan bom. Bumi seakan terguncang. Bom meledak hanya sekitar 200 dari arah kiri kami.
Sejumlah pohon tumbang akibat terkena serpihan baik ini.
Kami tiarap. Sejumlah pasukan mencoba siaga dan siap tembak.
"Apa yang harus kita lakukan?" ujar Pudin lagi sambil tiarap.
"Begini. Kalau kita mundur, kita hanya akan menjadi sasaran bom. Lebih baik kita merapat dekat TNI. Mereka tidak agar curiga jika kita berada di dekat mereka," ujarku.
"Ya betul. Ini lebih baik dibandingkan kita muncul," ujar Puly.
"Aku setuju. Aku lebih senang bilang harus bertarung jarak dekat dibandingkan mundur yang belum tentu terjamin keselamatan," ujar Apa Malok sambil memegang pisau miliknya.
Seluruh pasukan kemudian sepakat ke dekat Paya sambil merayap. Di sana kami hanya berjarak sekitar 200 meter dengan TNI. Kami bahkan bisa mendengar obrolan tentara republik.
"Kita hanya boleh menembak jika seandainya prajurit TNI masuk ke rawa. Apa kalian mengerti?" ujar Puly. Seluruh pasukan mengangguk.
"Dum, dum, dum,…dum," ujar itu terdengar. Jaraknya kian dekat dengan kami. Saat itu aku merasa kian dekat dengan kematian.
"Dum, dum, dum,"
"Menurutku. Mereka tak mengetahui posisi kita persisnya di mana. Mereka hanya akan membombardir seluruh Paya Cot Trieng. Mereka berharap kita membalas dan mereka bisa mengetahui sasaran tembak," kata Puly lagi.
Sementara kami mengangguk. Namun aku khawatir jika hal buruk bisa saja terjadi.
"Pakwa, maafkan dosa dosa ku jika selamat ini aku berbuah salah," lirik Pudin.
"Hey, kita belum meninggal. Siapa tahu nanti kita selamat. Simpan dulu ucapan permintaan maafnyq," kataku pada Pudin. Namun sosok itu hanya tertawa. [ Bersambung ]
Cerita bersambung ini karya Musa AM.
Discussion about this post