Bertahan dari Gempuran
Paya Cot Trieng, Agustus 2004
PULY tertidur di dekatku. Matanya terpejam. Jarak kami hanya sekitar 2 meter.
Usai salat Subuh tadi, Puly memang memilih untuk kembali memejamkan mata di antara ilalang dan tumbuhan rawa. Ini karena udara di Paya Cot Trieng lumayan dingin di pagi hari.
Selain itu, mungkin Puly juga kelelahan. Dia terus memimpin pasukan untuk melakukan penyerangan-penyerangan penting dalam beberapa bulan terakhir.
Puly dan pasukan bertugas menjaga jalur di Cot Trieng yang menjadi penghubung antar pasukan Nanggroe.
Puly mencoba menutupi kekurangan pasukan nanggroe pasca meninggalnya Kopianan dengan berperang lebih banyak dari sebelumnya.
Ya, meninggalnya Kopianan memang membuat duka yang mendalam bagi tentara Nanggroe. Sisa pasukan Kopianan, sebahagian besarnya kemudian bergabung dengan Tanggi.
Aku sendiri bertahan bersama Puly di Paya Cot Trieng. Daerah ini memiliki luas hampir ratusan hektare yang meliputi tiga kecamatan dan dua kabupaten.
Paya Cot Trieng meliputi Kecamatan Nisam dan Kuta Makmur Kabupaten Aceh Utara serta Muara Satu Kota Lhokseumawe.
Ya, disinilah kami bertahan. Kadang kadang lokasi kamp berpindah-pindah. Namun masih di seputaran Paya Cot Trieng.
Kamp Puly beratap langit serta berdinding ilalang dan tumbuhan raya. Tak ada kasur empuk sehingga kami tidur dengan fasilitas seadanya ketika malam hari tiba.
Namun bersama Puly pula, aku mengerti arti gerilya yang sesungguhnya.
Puly sendiri kini hanya memiliki anggota pasukan 12 orang. Dulunya mencapai puluhan. Sebahagian besar meninggal dunia sejak darurat diterapkan.
Di dekatku, ada Nyak Har, Apa Malok, Nyak Mat Cot Trieng, Pudin serta Husaini POM. Sementara beberapa anggota pasukan lainnya sedang bertugas jaga jaga.
"Sudah bangun Pakwa?" ujar Pudin tiba-tiba. Dia mengintip ku di balik ilalang.
Aku kaget mendengar suaranya. Namun aku mencoba menguasai keadaan dan tersenyum ke arahnya.
"Ada apa?" ujarku. Kini giliran Pudin yang tersenyum.
"Aku mengamati Pakwa dari Subuh tadi. Sepertinya lagi banyak pikiran. Tapi kalau tak diceritakan tak masalah," ujarnya.
Namun aku tak menjawab. Pasalnya, aku tak mungkin menjawab bahwa aku sedih melihat pasukan Puly seperti ini.
"Pakwa, apa kemerdekaan Aceh serta cita cita perjuangan kita sudah semakin dekat?" ujar Pudin lagi di sisi kiriku.
"Apakah kita akan mendapat perlakuan layak setelah merdeka nanti?" ujarnya lagi. Matanya menatap langit.
"Mengapa kau bertanya seperti itu?" jawabku. Pudin berhasil mengajakku berdiskusi.
Pudin kemudian membalikan badannya ke arahku. Namun kali ini wajahnya terlihat serius.
"Dulu aku serius menonton film yang mengisahkan nasib tentara yang menyedihkan usai perang. Aku tak mau seperti mereka," kata Pudin.
"Ya doakan saja kita meninggal sebelum konflik ini selesai kalau begitu. Dengan demikian, kamu tidak akan merasakan kisah menyedihkan seperti dalam film," ujarku sambil tertawa. Namun Pudin masih memasang wajah serius.
Dari arah dekat, seorang anggota pasukan tiba tiba mendekati kami. Anggota pasukan tersebut merupakan petugas jaga. Dia memberi isyarat kepadaku dan Pudin untuk mengikutinya ke tepi rawa. Hanya sekitar 100 meter dari lokasi kami tidur.
Di tepi rawa, aku dan Pudin terkejut. Pasalnya, ribuan tentara republik dengan senjata lengkap sedang mencoba mengepung kami.
Aku meminta anggota pasukan tadi untuk membangunkan Puly dan rekan lainnya. Aku mulai berpikir bahwa inilah akhir perjuangan kami.
"Apa tadi kamu benar benar berdoa supaya kita meninggal sebelum konflik selesai, Pakwa? Aku hanya bercanda tadi," ujar Pudin tiba tiba. Wajahnya terlihat panik. Benar benar panik. Ada ketakutan di sana. [Bersambung]
Cerita bersambung ini karya Musa AM
Discussion about this post