TIGA malam Bang Yan berada di kamp Kopianan, sosok itu terlihat selalu sibuk dengan beberapa handphone miliknya. Bang Yan menerima banyak telepon dari pimpinan pasukan soal pergerakan TNI serta mereka meminta arahan soal taktik yang harus digunakan.
Bang Yan juga menerima banyak telepon dari wartawan terkait perang Aceh. Selain panglima wilayah, Bang Yan atau Sofyan Dawood, memang diberi mandat sebagai juru bicara negara.
Hal ini pula yang membuat Bang Yan tak bisa melepaskan handphone dari tangannya.
Malam itu, ketika Bang Yan memangilku ke ruang tamu. Di depannya, ada beberapa baterai kering yang dirakit serta berfungsi sebagai charger handphone.
“Duduk, Musa,” ujar Bang Yan saat melihat diriku.
“Aku merasa nyaman berdiskusi denganmu. Kudoakan kau panjang umur dan bisa jadi pemimpin saat Aceh merdeka suatu saat nanti,” katanya lagi dengan tersenyum.
Aku yang mendengar gurauan Bang Yan tertawa. Saat itu hanya kami berdua dalam markas. Tanggi meminta izin untuk kembali ke markasnya. Sedangkan Kopianan sedang menyidak pasukan guna memastikan keadaan aman-aman saja.
“Apa apa Bang Yan memanggil saya?” ujarku. Aku tahu bahwa Bang Yan sepertinya ingin menyampaikan sesuatu kepadaku.
“Begini Musa. Aku sudah lama tak bertemu dengan Mualim sejak darurat militer. Besok ingin aku akan menemui Mualim. Apa pendapatmu kira-kira,” ujar Sofyan Dawood lagi.
“Bagus Bang Yan. Saya mendukung,” ujarku singkat.
“Berdasarkan informasi terakhir, Mualem ada di pergunungan Matang. Lokasinya belum jelas. Mereka berpindah-pindah,” kata Bang Yan lagi.
“Kapan Bang Yan berangkat? Biar saya yang berbicara dengan Kopianan agar dia mengutuskan beberapa orang pasukannya untuk mengawal Bang Yan,” ujarku.
“Rencananya nanti Subuh. Namun tak perlu pasukan yang banyak. Cukup beberapa orang saja. Kalau banyak akan mudah diketahui oleh TNI,” kata Bang Yan lagi.
“Ya saya sependapat. Ada baiknya, Bang Yan menempuh jalur pergunungan. Ini untuk menghindari kontak tembak dengan TNI,” ujarku lagi. Bang Yan mengangguk.
Aku kemudian berdiri. Namun Bang Yan buru-buru menjegatku. “Mau kemana buru-buru? Aku belum selesai,” ujarnya tersenyum.
“Ya saya tahu Bang Yan. Saya pun ingin berdialog banyak dengan Bang Yan. Untuk itu, kita perlu kopi guna menghargatkan badan,” kataku sambil tersenyum. Sedangkan Bang Yan tertawa.
Aku kemudian menuju dapur dan mulai mengaduk kopi hitam dengan gula. Aku membuatnya dalam dua gelas ukuran sedang. Satu gelas di antaranya kuberikan kepada panglima wilayah itu. Bang Yan tersenyum saat menerima kopi dariku.
“Tak ada kopi ginseng ya?” tanyanya sambil tersenyum. Kopi ginseng merupakan minuman kesukaanku selama berkantor di Kantor Wilayah Samudera Pase, Alue Dua, Nisam.
“Kau sangat kurus, Musa. Seandainya kau tetap kuliah di UGM, kupikir sekarang kau sudah jadi pejabat besar. Apakah kau menyesal?” ujar Bang Yan bercanda.
“Tidak Bang Yan. Melakukan sesuatu sesuai dengan hati nurani adalah pilihan tepat. Saya tak pernah menyesal meninggalkan kampus dan bergabung dengan GAM,” kataku sambil tertawa.
Kami kemudian menyeruput kopi bersama-sama. Bang Yan terlihat begitu menikmati bau kopi. “Seperti bukan sedang perang dan tidak dalam hutan,” ujarnya sambil tersenyum.
“Ya. Kadang kopi bisa menghilangkan rasa penat kita akan konflik ini. Mudah-mudahan generasi kedepan tidak akan merasakan konflik seperti yang kita rasakan,” kataku.
“Amin. Semoga perjuangan kita ini tidak sia-sia. Sudah terlalu banyak pengorbanan yang dilakukan,” ujar Bang Yan. Aku mengangguk.
Sekitar 30 menit kemudian, Kopianan tiba di markas. Sosok itu tersenyum saat melihat kami sedang ngopi. Aku kemudian menyerahkan gelas kopi milikku untuknya.
Bang Yan juga menyampaikan ke Kopianan soal keinginannya untuk menuju ke lokasi Mualim. Sosok itu mengangguk dan akan menugaskan tiga pasukan untuk mengawal Bang Yan.
Kami kemudian bubar. Bang Yan memilih tidur di kamar. Sedangkan aku berbaring di atas lantai yang hanya beralas tikar dan baru terbangun saat Subuh tiba.
Usai salat Subuh, Bang Yan dan tiga anggota pasukan Kopianan berangkat. Mereka membawa makanan alakadar. Belakangan, aku baru mengetahui bahwa Bang Yan baru tiba di tempat Mualim sekitar 3 hari perjalanan.
Bang Yan diantar per lokasi pasukan GAM. Nanti dari lokasi tersebut, anggota pasukan tadi, mengantar hingga ke lokasi lainnya hingga akhirnya sampai ke tempat Mualim.
Informasi dari anggota pasukan yang menemani Bang Yan, Mualim ternyata juga meminta Nektu, petinggi GAM dari wilayah Peureulak untuk menyeberang ke Matang. [Bersambung]
Cerita bersambung ini karya Musa AM
Discussion about this post