Penulis sengaja memulai kalimat ini dengan dua kata yang berbeda. Pertama SKPA atau Satuan Kerja Pemerintah Aceh. Sedangkan yang kedua adalah piring berlumut atau piring yang sudah kotor serta tak pernah dibersihkan hingga akhirnya berlumut dan enggan untuk disentuh.
Dua kalimat ini saling berhubungan. Dan begitulah keadaan birokrasi yang terjadi di Aceh saat ini.
Menulis tentang SKPA, maka tentu kita harus menulis soal kinerja buruk, korupsi yang kronis, serta nepotisme yang mengakar.
Kinerja buruk dapat kita lihat dengan pelayanan yang diberikan masing-masing dinas dan lembaga di Pemerintah Aceh saat ini. Dimana seharusnya, PNS merupakan abdi negara yang menjadi pelayan rakyat. Namun yang terjadi selama ini justru sebaliknya.
Dimana, para PNS di Aceh saat ini berkerja suka-suka dan bersikap bahwa merekalah sebagai bos yang sebenarnya.
Merekalah yang mengatur rakyat, memberi ke kelompok yang hanya disenangi oleh mereka serta membantu apabila rakyat sudah mengemis kepada mereka.
Prinsip ‘Galak-galak lon’ merupakan tradisi PNS yang paling sering kita jumpai dalam pelayanan di Aceh. ‘Galak-galak’ masuk kantor serta ‘galak-galak’ dalam bekerja serta memberikan bantuan.
Kemudian soal korupsi yang kronis. Ini merupakan fakta yang tak terbantahkan di Aceh. Dimana korupsi kian merajalela.
Sejumlah organisasi anti korupsi telah berulang kali merilis data korupsi di Aceh. Tetapi belum ada tindaklanjut yang berarti dari pimpinan Aceh saat ini.
Seorang kepala dinas tak lagi malu berbicara mengenai fee proyek yang dikutipnya di depan para kontraktor. Penyakit ini seorang sudah menjadi tradisi ‘tahu sama tahu.’
Demikian juga dengan PPTK, Kabag hingga Kasubbag di setiap dinas dan badan. Seolah-olah mengambil fee proyek bukanlah dosa.
Demikian juga dengan nepotisme. Bukan lagi rahasia umum jika para kepala dinas, badan serta biro di Aceh dipilih bukan karena prestasi dan kinerja mereka. Para pejabat dipilih hanya karena factor kedekatan emosional dengan pemenang pilkada.
Para pejabat Aceh saat ini adalah orang-orang yang telah menggunakan berbagai cara agar bisa menduduki jabatan strategis di SKPA. Termasuk dengan menggunakan uang sebagai pemulus. Maka ketika mereka terpilih, para pejabat ini juga akan mencari cara agar modal yang sudah digunakan bisa segera kembali, termasuk dengan cara korupsi. Mereka sadar bahwa kursi yang mereka duduki adalah kursi panas yang siap direbut oleh pejabat lainnya yang juga akan menggunakan cara yang sama.
Demikian juga dengan posisi Kabag, Kasubbag di dinas. Mereka akan dipilih berdasarkan factor kedekatan oleh kepala SKPA. Hal ini juga berlaku dengan pegawai honor serta staf biasa di setiap kantor. Nepotisme ini akan dengar muda kita jumpai di lingkup Pemerintah Aceh.
Sudah menjadi rahasia umum jika staf honorer di Pemerintah Aceh merupakan anak serta saudara dari pejabat dan mantan pejabat Aceh. Nepotisme inilah yang akhirnya menyebabkan kinerja pemerintah di Aceh menjadi buruk.
Birokrasi di Aceh saat ini ibarat sebuah gudung yang berisi piring. Sejak Aceh tergabung dalam Republik Indonesia, satu persatu piring piring tersebut telah digunakan penguasa untuk kepentingan mereka dan akhirnya menjadi kotor karena terseret kepentingan.
Singkat cerita, Irwandi yang memerintah Aceh setelah damai pun, harus menggunakan piring kotor tersebut untuk menjalankan pemerintahannya. Tak banyak pilihan. Demikian juga saat Zaini Abdullah memimpin. Sosok itu menyimpan piring kotor yang digunakan Irwandi serta memilih piring lain. Tetapi tetap dari tumpukan yang sama dan kotor.
Akhirnya, karena piring kotor tadi, maka apapun yang dimasak serta dihidangkan tetap saja terasa bau.
Di pilkada 2017 nanti, Aceh akan kembali mencari penguasa baru. Namun satu hal yang pasti, siapapun yang terpilih nanti, mereka tetap akan menggunakan piring kotor dari gudang yang sama. Intinya, hasil yang diraih nanti, tetap jauh dari harapan.
Bau busuk kepentingan tetap akan terasa, kepentingan saudara pejabat, anak dan istri mereka.
Kita sebetulnya berharap agar semua piring kotor tadi dibuang dan pecah sehingga punya kesempatan untuk membeli piring baru nantinya. Birokrat yang bersih dan jujur. Birokrat yang bekerja sepenuhnya untuk rakyat. Namun dengan aturan birokrasi yang ada, hal ini sepertinya tak akan pernah terwujud.
Birokrat yang jujur tak akan mungkin lahir dari system rekrutmen yang masih berbau nepotisme seperti sekarang. Reformasi birokrasi hanyalah slogan semata untuk menutupi kebusukan para birokrat kotor. Dulu, sekarang ataupun nanti.
Penulis adalah Muhammad Wali. Santri dayah yang kini berwirausaha kecil-kecilan di Krueng Cut, Aceh Besar.
Discussion about this post