USAI makan, Bang Yan menghabiskan waktu di kamar. Panglima wilayah Pase itu baru bangun jelang Magrib. Kami melaksanakan Salat Magrib secara berjamaah.
Bang Yan kemudian meminta Kofianan, aku dan Tanggi untuk rapat penting di ruang tamu. Sementara pasukan Kofianan serta Tanggi memberi pengawalan di luar markas dengan jarak sekitar 100 meter.
Hanya 5 anggota pasukan bersenjata AK 47 yang berdiri di dekat pintu.
"Bagaimana menurut kalian perang yang terjadi selama ini? Bagaimana posisi kita," ujar Bang Yan tiba tiba.
Pria itu kemudian berdiri dan menghadap jendela. Dia kemudian menarik nafas panjang.
"Kalau menurut saya, kita sedang terdesak Bang Yan. Mau tak mau ini harus kita akui," ujar aku.
Namun apa yang aku sampaikan ini ternyata tak sepaham dengan Tanggi dan Kofianan.
"Aku tak sependapat. Kita saat ini masih terus memberi perlawanan. Saat darurat militer, TNI mengklaim tak ada lagi GAM, namun hingga sekarang kita masih melawan. Struktur kita masih eksis," ujar Tanggi.
"Ya. Kita masih ada. Selama kita masih hidup, perjuangan ini akan tetap berlangsung," ujar Kofianan lagi.
Namun Bang Yan masih saja terdiam. Dia sepertinya tak sependapat dengan kedua pimpinan pasukan itu.
"Harus kita akui bahwa TNI saat ini ingin memisahkan kita dengan masyarakat dan ini berhasil. Kita kalah di serangan udara. Ini harus kita akui. Banyak anggota juga menyerah. Kemudian sipil GAM juga terpaksa keluar Aceh," ujarku.
"Kelebihan kita cuma karena kita mengenal medan. Ini kampung kita," kataku lagi.
Bang Yan kemudian membalikkan badan dan menatapku.
"Benar yang Musa katakan. Sedangkan nya kita tak mengambil kebijakan baru, maka peperangan ini akan memakan banyak korban," ujar Bang Yan.
"Menurutmu, apa yang harus kita lakukan Musa?" kata Bang Yan lagi.
Aku terdiam. Aku mencoba mencari kata kata tepat agar Tanggi dan Kofianan tak kecewa.
"Menurutku Bang Yan, kita harus lebih sering mengkampanyekan kedaulatan Aceh di media internasional. Demikian juga dengan propaganda politik. Perang senjata hanya sebagai salah satu cara untuk menunjukan pada dunia bahwa perlawanan dari GAM masih terus berkobar," kataku.
"Ini pernah Bang Yan katakan kepadaku beberapa bulan lalu. Kita harus maksimalkan peran sipil di luar negeri dan berharap dunia internasional terbuka mata dengan pelanggaran HAM yang sedang terjadi di Aceh," ujarku lagi.
Bang Yan tersenyum mendengarkan penuturanku.
"Seperti yang pernah Bang Yan katakan padaku. Bahwa tidak ada satupun bangsa di dunia yang menggapai kemerdekaan melalui pertempuran," kataku sambil tersenyum.
Bang Yan menganngguk. Sedangkan Tanggi dan Kofianan terdiam.
"Ya. Lobi, penguatan media serta kampanye internasional harus ditingkatkan. Ketika media lokal di Aceh saat ini memihak ke TNI, maka kita harus menguatkan isu ke media internasional," ujar Bang Yan.
"Sementara itu berlangsung. Kita harus tetap bertahan dan bergerilya. Kita harus mampu menunjukan pada mata internasional bahwa masih ada perlawanan dari Aceh," katanya lagi.
"Apakah kalian siap berperang bersamaku hingga cita cita ini tercapai atau nyawa terpisah dari badan," kata Bang Yan lagi.
Tanggi berdiri. Demikian juga dengan Kopianan. Aku menyusul beberapa menit kemudian.
"Siap Bang Yan. Sampai mati, kami bersama perjuangan ini," ujar Kopi. Di luar, suasana terasa sepi. Malam kian pekat. Namun para pasukan tetap terjaga demi memberi pengawalan pada panglima. [Bersambung]
Cerita bersambung ini karya Musa AM
Discussion about this post