SEPEKAN usai sipil GAM turun, aku memutuskan untuk menuju kamp Kopianan. Aku pamit pada Puly dan sosok itu mengutuskan tiga anggota pasukannya untuk menemaniku ke kamp Kopianan. Seperti yang diketahui, kamp Kopianan berada di tengah-tengah lingkaran pasukan. Keamanan di kamp ini jauh lebih ketat dibandingkan pasukan lainnya. Biarpun sebelumnya, kamp ini pernah dibom oleh pesawat Branco dan menewaskan beberapa anggota pasukan.
Aku tiba di kamp Kopianan jelang sore hari. Kopianan menyambutku dengan hangat.
“Apakabar, Pakwa. Aku pikir kau tak mau lagi bersamaku sejak peristiwa pemboman dulu,” ujarnya tersenyum.
“Tidak. Itu merupakan resiko kita dalam perang. Selama ini aku bergerilya untuk mengontrol pasukan Transporter,” ujarku.
Kopi kemudian membiarkanku istirahat di rumah kosong yang dijadikan markas dadakan bagi pasukan itu. Markas ini berjarak sekitar 2 kilometer dari lokasi markas sebelumnya yang dibom. Aku tertidur di sana hingga jelang Ashar. Kemudian bangun dan melaksanakan salat berjamaah bersama anggota pasukan Kopianan. Usai salat, handphoneku tiba-tiba berdering. Nama Sofyan Dawood muncul di layar dan aku menerima panggilan tersebut.
“Assalamualaikum, Bang Yan,” ujarku.
“Walaikumsalam. Musa, aku minta tolong dijemput,” kata Bang Yan singkat.
“Baik, Bang Yan. Akan saya cari cara dulu. Nanti saya hubungi lagi,” kataku. Bang Yan kemudian menutup telepon.
Dalam kode etik GAM, seorang pasukan pantang menanyakan lokasi kawannya melalui handphone. Karena apabila orang tersebut bertanya lokasi serta berbicara dalam bahasa Indonesia, maka bisa dipastikan kalau sosok itu sudah ditangkap ataupun menyerah. Permintaan Bang Yan ini kemudian kusampaikan pada Kopianan. Sosok itu sempat terdiam beberapa saat. Kopianan kembali menelpon Bang Yan guna memastikan bahwa sosok itu benar-benar sedang butuh bantuan. Bang Yan membenarkan dan meminta Kopianan dan aku untuk mencari cara untuk menjemputnya.
“Jadi apa yang harus kita lakukan,” ujar Kopianan lagi.
“Begini. Apa bisa Bang Yan turun ke daerah Kandang? Nanti kita minta salah satu pasukan untuk menjemputnya di lokasi itu,” kataku lagi.
“Mungkin bisa. Coba kau hubungi Bang Yan,” kata Kopianan.
Aku kemudian menelpon Bang Yan. Pada panggilan kedua, Bang Yan kemudian mengangkat telepon masuk. “Ya, Musa. Bagaimana,” ujar Bang Yan di seberang.
“Begini, Bang Yan. Apa bisa Bang Yan turun ke kawasan Kandang? Nanti pasukan akan menjemput di sana,” ujarku.
Bang Yan terdiam. “Bisa. Tapi perlu beberapa hari. Nanti aku hubungi lagi begitu tiba di Kandang,” ujarnya. Komunikasi kami kemudian terputus.
Proses penjemputan Bang Yan sendiri membutuhkan waktu sekitar tiga hari. Setelah rembuk dengan beberapa pimpinan pasukan, kami akhirnya memutuskan bahwa yang menjemput Bang Yan adalah anggota pasukan pimpinan Tanggi.
Bang Yan menelpon jelang siang. Saat itu, lokasi penjemputan berada di salah satu kawasan Kandang. Pasukan Tanggi membawa Bang Yan ke kamp Kopianan dan tiba sore harinya.
“Apakabar, Musa. Lama tak berjumpa,” ujar Bang Yan sambil memelukku begitu sosok itu tiba.
“Baik, Bang Yan. Baik panglima,” ujarku.
Bang Yan kemudian juga memeluk Kopianan dan Tanggi.
“Terus-terang, aku rindu dengan kalian. Makanya aku minta dijemput ke sini,” ujar Bang Yan.
“Bagaimana dengan Mualim, Bang Yan? Apakah beliau sehat-sehat saja,” kataku lagi.
“Mualim baik. Beliau ada dalam pengawalan Teungku Batee, Cagee serta Gumok, di pendalaman Bireuen. Beberapa pekan lalu, ada perang besar di sana, namun mereka selamat,” ujarnya.
“Cukup kalau begitu. Bang Yan istirahat saja dulu. Ada makanan di dalam yang kami sediakan untuk menyambut kedatangan Bang Yan,” ujar Kopianan tersenyum.
“Luar biasa. Aku tersanjung dengan penyambutan kalian. Ayo kita makan bersama-sama kalau begitu,” ujar Bang Yan sambil menarik tanganku. Kopianan dan Tanggi menyusul dari belakang.
“Maaf, Bang Yan. Hanya ada nasi serta indomie rebus dan ikan asin. Kuharap Bang Yan tak kecewa,” ujar Kopi tersenyum.
“Tak masalah. Ini jauh dari cukup. Di beberapa pasukan, mereka malah sedang kelaparan. Namun mereka tetap bertahan demi perjuangan. Demikian juga dengan kita,” ujarnya lagi.
Aku mencoba tersenyum.
Bang Yan menyantap nasi dan Indomie dengan sangat lahap. Aku menduga bahwa sosok itu sangat lapar. Mungkin tak makan selama beberapa hari. Namun Bang Yan tak pernah mengeluh kepada kami. [Bersambung]
Cerita bersambung ini karya Musa AM
Baca Juga :
Discussion about this post