MUTI menjalani hari-harinya dengan biasa. Dia tetap membantu perjuangan GAM secara rahasia.
Hampir sepekan sekali, dia mengirim obat-obatan dan sembako ke pejuang GAM di hutan.
Di Koalisi NGO HAM sendiri, dia tetap berperan sebagai pekerja kemanusiaan. Pesan berisi teror dan intimidasi hampir saban hari diterimanya melalui handphone.
Muti sadar bahwa laporan pelanggaran HAM yang disampaikannya ke lembaga internasional tak disenangi oleh aparat negara.
Namun hal itu harus dilakukannya agar negara-negara luar tahu apa yang sedang terjadi di Aceh.
Muti juga sering merasa diintai. Ada beberapa pria berbadan tegap yang sering mengikutinya saban hari. Hal ini pula yang membuatnya kemudian berpindah-pindah lokasi untuk bekerja.
Kadang dia terpaksa berkantor di luar Lhokseumawe demi keamanan. Ibu dan keluarganya cemas.
“Cut Nyak Dhien memegang senjata melawan Belanda. Demikian juga dengan Malahayati. Kini saya, hanya diminta membuat laporan pelanggaran HAM. Maka apa yang saya lakukan ini, jauh lebih ringan dan tak ada apa-apa dibanding wanita zaman dulu,” ujar Muti kepada ibunya saat diminta untuk meninggalkan aktivitasnya.
Jika sudah mendengarkan hal ini, ibunya biasa menyerah. Sang ibu selalu kalah argument dengannya.
Saat keadaan dirasa aman, Muti baru kembali ke Aceh. Di Lhokseumawe, Muti juga dekat dengan beberapa aktivis perempuan. Mereka sering bertemu di salah satu café dalam kota Lhokseumawe.
Sore itu, Muti bertemu dengan Matan. Nama asli perempuan itu adalah Rahmatan.
Pembicaraan mereka berdua tiba-tiba beralih ke persoalan Musa. Sosok yang sering berkomunikasi dengan Muti. Terus terang, Muti kagum dengan lelaki tersebut.
Bagi kebanyakan orang, Musa akan dianggap gila karena berani meninggalkan kampus demi bergabung GAM. Namun bagi Muti, pria itu merupakan pria pemberani.
“Sebaiknya kau lupakan lupakan sosok Musa. Komunikasi oke, tapi jangan berharap lebih. Dia orangnya sangat dingin, terutama bagi para wanita,” ujar Matan.
Matan mengenal Musa. Dia pernah bekerja di Kantor Sekretariat Wilayah Samudera Pase, di Alue Dua, Nisam. Kantor ini di bawah pengawasan Musa.
“Apalagi aku dengar kalau dia sudah dijodohkan dengan seorang perempuan. Namanya Diana. Namun sejak darurat, aku tak lagi mengetahui kabar perjodohan mereka. Bisa jadi gagal,” ujar Matan.
“Orang yang menjodohkan mereka adalah Cek Mad, keuangan wilayah,” kata Matan lagi.
“Baguslah kalau begitu. Masih ada harapan,” ujar Muti tersenyum. Dia mencoba memanaskan wanita itu.
“Aku hanya mengingatkanmu agar tak kecewa nantinya. Dia memang lelaki langka. Namun hatinya terbuat dari tembok. Dia tergila-gila dengan buku Hasan Tiro. Tak mau pacaran serta memutuskan hidup dan nasibnya pada takdir,” ujar Matan.
“Kalau begitu aku ingin jadi palu yang akan memukul tembok itu hingga runtuh,” ujar Muti lagi.
Keduanya akhirnya tertawa.
Namun selang beberapa menit, dua pria berbadan tegap tiba-tiba masuk ke warung. Matanya memadangi seisi ruangan. Sorot matanya tajam. Dia seperti sedang mencari seseorang.
Para pria ini kemudian memilih duduk di pojok ruangan. Hanya berjarak sekitar 3 meter dari meja Muti dan Matan. Keduanya terdiam.
Beberapa pria yang tua yang tadinya ikut ngopi di warung tersebut segera membayar serta kemudian bergegas meninggalkan lokasi.
Di warung, hanya tersisa 5 pelanggan lainnya yang tak sadar suasana. 3 diantaranya remaja.
Muti kemudian meminta izin ke kamar kecil pada pelayan. Sang pelayan menuju ke arah belakang.
Pria tadi hendak mengekor. Namun sang pelayan menahannya. Beberapa pengunjung melihat ke arah pria tadi.
“Saya juga ingin ke kamar kecil pak,” ujar pria tadi beralasan.
“Ini kamar khusus perempuan pak. Kalau kamar untuk lelaki di atas. Lantai 2. Sini saya antar,” ujar sang pelayan polos.
Pria tadi merasa serba salah. Dia kemudian mengikuti langkah sang pelayan untuk naik ke atas. Sebelumnya, dia memberi isyarat sesuatu pada temannya.
Matan yang melihat peluang, segera meletakan uang di atas meja dan buru-buru ke luar. Dia kemudian mencoba bersembunyi di balik salah satu pintu toko pakaian wanita.
Matan berharap Muti bisa lolos. [Bersambung]
Cerita bersambung ini karya Musa AM
Discussion about this post