MALAM harinya, Muti tak bisa tidur. Dia memandangi handphonenya berkali-kali. Muti berharap ada pesan singkat yang masuk ke handphonenya. Tentu saja pesan itu dari Musa. Namun harapan Muti ternyata sia-sia.
“Apa yang harus aku lakukan? Apakah aku yang harus mengirim pesan terlebih dahulu?” gumam Muti.
Dalam kepalanya, seakan ada dua orang sedang berdebat untuk memberi pemahaman pada dirinya. Satu orang mengatakan jangan dan satu lagi mengatakan harus.
Muti sendiri akhirnya memutuskan untuk mengirim pesan ke nomor Musa. Namun dia harus mencari alasan yang tepat terlebih dahulu.
“Assalamualaikum, Pak Musa. Apakah stok obat-obatan kemarin masih tersisa? Salam Muti.” Pesan tersebut kemudian dikirim ke nomor Musa.
Muti berharap pesan tersebut dibaca serta segera dibalas oleh Musa. Namun hingga berjam-jam lamanya, pesan tersebut ternyata tak ada balasan. Hatinya kecewa. Muti kemudian tertidur dalam keputus-asaan.
Pukul 02.15 WIB, Muti terbangun akibat dering telepon. Ada telepon masuk. Dengan ogah-ogahan, dia mencoba meraih handphone dan meletakannya di telinga.
“Hallo dengan siapa ini,” ujar Muti setengah sadar.
“Hallo, Buk Muti. Maaf mengganggu malam-malam,” kata seseorang di seberang sana.
“Iya, apa? Kan inipun sudah mengganggu. Bilang aja terus terang. Saya mau tidur,” ujar Muti lagi cuek. Matanya sangat terkantuk.
“Ini saya Musa, Buk Muti,” ujar pria di seberang sana.
Mendengar nama tersebut, Muti terkejut. Rasa kantuknya hilang. Dia kemudian melihat nama yang muncul di handphone, ya Musa.
“Oh, maaf Teungku. Maaf saya tak melihat nama di layar tadi,” ujarnya dengan perasaan bersalah.
“Tak apa-apa. Saya sebenarnya yang harus minta maaf. Saya menelpon dini hari. Maklum, pesan baru masuk,” ujar Musa.
“Saya ingin minta bantu dikirim obat malaria. Maklum banyak pasukan yang diserang malaria. Maaf ya mengganggu,” kata Musa lagi dari seberang.
“Ya Teungku. Tak masalah. Saya siap membantu,” jawab Muti.
“Terimakasih, Buk Muti. Saya pikir tadi Buk Muti belum tidur. Biasakannya kan jam sekarang kan masih jam teleponan dengan pacar,” kata Musa.
Muti tersenyum mendengar pangakuan Musa. Lelaki itu sepertinya sedang mencoba memancing dirinya untuk berbicara soal pribadi.
“Saya belum punya pacar, Teungku,” liriknya pelan. Namun di seberang terdengar tawa.
“Apakah ada yang aneh dengan seorang wanita yang tak punya pacar?” ujar Muti lagi.
“Tidak. Tidak. Baru kali ini saya bertemu dengan wanita perkasa yang aktif di bidang kemanusiaan, tetapi tetap menjaga adat istiadat serta agamanya. Anda wanita hebat, Muti,” ujar Musa.
“Di Aceh saat ini, banyak sekali wanita hebat. Malah bisa saya katakan, Aceh saat ini dikendalikan oleh para wanita. Ada percaya?” ujar Muti tiba-tiba.
“Di sejumlah desa saat ini, mayoritas penduduk adalah para wanita. Mereka berladang, ke sawah dan sebagainya. Ini karena para lelaki harus keluar kampung demi menyelamatkan. Jadi para perempuan bertindak sebagai ibu dan ayah bagi anak-anaknya. Apakah saya benar?” kata Muti lagi berargumen.
“Ya,” jawab Musa singkat.
“Perempuan jugalah yang sering menghadang peluru. Mengambil mayat tak dikenal serta mendatangi pos-pos TNI jika ada penangkapan di luar prosedur. Benar bukan?” tanya Muti lagi.
“Ya. Yang ibu katakan memang benar adanya. Makanya, daerah ini harus berterimakasih pada seluruh ibu. Mereka pejuang sejati. Dari Rahim mereka lahir bibit-bibit pemberontak yang rela kehilangan nyawa demi marwah negeri. Mereka sendiri juga ujung tombak negeri. Banyak Cut Nyak Dhien modern yang tak tercatat sejarah di Aceh. Peran mereka jauh lebih hebat dari Kartini yang hanya bisa menulis surat,” jawab Musa lagi.
“Saya tertarik berdiskusi dengan ibu. Apa bisa yang menelpon lagi nanti, di luar persoalan obat-obatan,” tanya Musa.
“Biar Teungku. Tapi panggil saya dengan nama Muti atau Mutiara saja. Panggilan Buk, terlalu tua bagi saya. Saya juga masih lebih muda dari Teungku Musa,” ujar Muti.
“Oke. Kalau begitu panggil saya dengan Musa. Biar enak didengar. Kalau begitu saya tutup dulu, Dik Muti. Nanti kita berkomunikasi lagi. Assalamualaikum,” kata Musa.
“Ya, Bang Musa. Besok saya cari obat-obatannya. Saya senang berkomunikasi dengan Abang. Walaikumsalam,” ujar Muti penutup telepon. Muti tersenyum usai menelpon. Dia tidak menyangka kalau Musa menelponnya.
Muti berharap komunikasi ini kian mendekatkan mereka nantinya. [Bersambung]
Cerita bersambung ini karya Musa AM
Baca Juga :
Discussion about this post