USAI menitip obat-obatan, Muti pulang ke rumah dengan berjalan kaki. Muti sadar bahwa kebiasaannya membantu pasokan obat-obatan bagi Tentara Nanggroe akan sangat berbahaya bagi dirinya dan keluarga jika seandainya terbongkar.
Selama bekerja di Koalisi NGO HAM Lhokseumawe, dia menerima banyak kasus penghilangan paksa orang-orang yang diduga membantu GAM. Dia tak ingin keluarganya mengalami nasib serupa.
“Mudah-mudahan, Tuhan melindungi aku dan keluargaku,” ujar Muti dalam hati sembari berjalan.
Muti sebenarnya bukan orang pertama dalam keluarganya yang terlibat membantu Tentara Nanggroe. Dua anggota keluarganya malah menjadi Tentara Nanggroe dan jarang pulang ke rumah.
“Semoga tuhan juga memberi kesehatan dan keselamatan bagi mereka. Semoga konflik ini cepat selesai,” liriknya lagi.
Tanpa sadar, Muti akhirnya tiba di depan pintu rumah. Ibunya menatap dia dengan perasaan cemas.
“Besok-besok kalau lembur kasih tahu dulu. Biar kami tak cemas,” ujar mamaknya itu dengan wajah galak tapi penuh perhatian.
Muti tersenyum mendengar omelan mamaknya itu. Namun ia enggan menanggapi dan langsung masuk kamar tidur.
Muti kemudian mengirim pesan singkat ke bosnya di kantor bahwa dia minta izin untuk tak masuk kantor hari ini. Dia lelah dan ingin istirahat total di rumah.
Sang bos membalas singkat,“Ok.”
Dia kemudian menuju kamar mandi dan membasuh seluruh tubuh. Butiran air jatuh membasahi rambut ikal miliknya hingga turun ke seluruh tubuh. Dia benar-benar menikmati saat saat seperti ini.
“Muti. Makanlah dulu, Nak. Mamak sudah siapi ikan goreng kesukaanmu di meja,” ujar mamaknya dari luar kamar setengah berteriak.
“Iya, Mak. Muti lagi mandi. Bentar lagi Muti ke sana,” jawabnya singkat.
Muti bergegas membilas rambut dan bersalin. Dia memakai baju tidur dan meja makan.
“Punya anak tak satupun betah di rumah. Yang laki-laki di hutan. Sementara yang perempuan sibuk bekerja. Perempuan dan laki-laki sama saja,” keluh mamaknya tiba-tiba dari arah dapur. Wanita itu sepertinya sengaja memperdengarkan keluhannya tersebut pada dirinya.
Muti tersenyum. Dia paham betul bahwa mamaknya tersebut. Wanita paruh baya itu mungkin sedang galau dengan keselamatan anak-anaknya. Muti bangun dan memeluk mamaknya dari belakang.
“Mamak jangan khawatir. Ini jalan yang dipilih oleh kami semua. Isya Allah mereka akan baik baik saja. Kita hanya bisa berdoa untuk keselamatan mereka,” ujarnya sambil mencium rambut mamaknya.
Sementara mamaknya terdiam. Wanita itu tiba-tiba terisak. Air matanya tumpah tiba-tiba.
“Apa tiba bisa keluarga kita hidup normal. Aku ingin melihat kamu di rumah dan menimbang cucu,” ujar ibunya.
“Buk. Di Aceh saat ini tidak ada keluarga yang hidup normal. Di sejumlah tempat, suami dan anak laki-laki malah harus meninggalkan kampung. Ada malah suaminya ditembak di depan matanya sendiri. Kita masih jauh lebih beruntung,” ujar Muti pelan.
“Kehidupan kita sudah sangat normal untuk sebuah negeri konflik,” katanya lagi.
Mamaknya terdiam. Saat mamaknya tenang, dia melepaskan pelukan. Muti kembali ke meja makan dan menghabiskan sisa nasi.
Usai makan, Muti membantu mamaknya mencuci piring. Namun keduanya tak saling ngobrol.
Muti mengerti dengan beban yang dihadapi oleh mamaknya itu. Sebagai orang tua, dia pasti cemas dengan keselamatan anak-anaknya. Beban yang mungkin hanya dimengerti oleh para orang tua.
Muti kemudian bergegas memasuki kamar. Kasur terasa sangat empuk saat dia rebahan. Matanya mendadak sayu. Setelah semalaman bergadang, mungkin ini kesempatan baginya untuk tidur sepuasnya. Namun pada saat bersamaan, handphone miliknya kembali berdering. Satu pesan singkat kembali masuk.
“Terimakasih atas bantuannya hari ini, Dik Muti. Semoga kami bisa membalas kebaikan adik suatu saat nanti.” Begitu bunyi pesannya.
Muti ingat bahwa pengirim pesan tersebut adalah pria yang menelponnya tadi subuh. Pria itu benar benar santun. Namun Muti ternyata belum menyimpan nomor tadi.
Dia kemudian menyimpan nomor tadi di handphone. “Pakwa,” ujarnya.
“Sama-sama. Semoga berguna. Tetap semangat demi Nanggroe,” tulis Muti di handphone dan mengirim pesan tersebut ke Pakwa. Entah kenapa, Muti merasa nyaman berkomunikasi dengan pria yang baru dikenalnya tersebut. Padahal, selama ini dia termasuk orang yang cuek terhadap pria. [Bersambung]
Cerita bersambung ini karya Musa AM
Discussion about this post