MUTI kembali berkerja. Semua lembaran kertas di atas meja disalin dalam laptop. Dia tak sadar waktu berlalu dengan cepat. Pekerjaannya rampung saat azan dan iqomat terdengar dari kejauhan.
Muti tersenyum. Dia puas karena bergadangnya tak sia-sia. Dia menutup laptop dan segera mengambil mukena. Muti menuju kamar kecil untuk wudhu dan salat di ruang kerja.
Usai solat, dia mencoba memejamkan mata dengan masih menggunakan mukena. Namun handphone-nya kembali berdering. Kali ini terlihat nomor baru di layarnya. Rasa takut tiba-tiba muncul.
“Jangan-jangan ini orang yang suka meneror itu,” gumamnya. Namun tak seorang pun pria di kantor yang bisa diminta bantu olehnya.
“Halo siapa ini,” ujar Muti pelan.
Namun lawan bicara di seberang justru terdiam.
“Wah, kok suara cewek. Bagaimana ini,” terdengar suara lelaki di seberang telepon. Sosok itu seperti kaget mendengar suara Muti. Pria itu menerima panggilan telepon dan berbicara dengan orang lain di sisinya pada saat yang bersamaan.
“Halo, jangan main-main ya dengan saya. Kalau mencoba meneror saya lagi, tak mempan,” kata Muti lagi. Kali ini kemarahannya memuncak.
“Assalamualikum, Buk. Maaf, saya tak sedang meneror Ibuk. Saya Tentara Nanggroe yang disuruh menelpon ibu. Saya hanya terkejut, karena saya sangka tadi yang saya hubungi seorang pria,” ujar lelaki di seberang sana.
“Alah, alasan,” ujar Muti.
“Benar, Buk. Demi Allah,” balas pria di seberang telepon.
Muti terdiam. Dia tiba-tiba merasa bersalah telah memarahi orang subuh hari tanpa mengecek terlebih dahulu keperluan mereka.
“Walaikumsalam. Saya minta maaf telah memarahi Anda tanpa dasar. Ada yang bisa yang bantu Teungku?” ujar Muti lembut.
“Begini Buk. Pasca pengempuran Cot Mambong oleh pesawat Branco beberapa waktu lalu dan ditambah pemboman di Embang, banyak pasukan kami yang terluka. Kami memerlukan obat-obatan. Menurut penghubung, yang membantu distribusi obat-obatan selama ini adalah ibu,” kata pria di seberang sana.
“Saya menelpon langsung ibu karena keadaan terdesak. Belum lagi ada pasukan terkena malaria,” ujar orang di seberang telepon.
Muti heran dengan sikap pria itu. Suaranya sangat santun. Tipikal tersebut sangat beda jauh dengan karakter tentara nanggroe yang dikenalnya selama ini.
Muti juga teringat dengan pemboman kawasan Cot Mambong beberapa waktu lalu. Banyak tentara GAM yang dilaporkan terluka. Demikian juga dengan pemboman markas GAM di Embang. Banyak yang dilaporkan terluka.
“Baik saya usahakan obat-obatan secepatnya. Nanti saya hubungi lagi,” ujar Muti. Pria di seberang kemudian memutuskan hubungan telepon.
Muti membuka mukena dan dilipatkan dengan baik. Dia kemudian bergegas ke gudang kantor. Saat itu, sinar sang surya mulai menerangi daerah seputaran kantornya.
Muti mencari kotak berisi obat-obatan yang dititip Teungku Kade kepadanya saat ke Malaysia beberapa waktu lalu. Teungku Kade sendiri merupakan warga Aceh yang sudah lama menetap di Malaysia.
“Dapat,” gumam Muti.
Dia kemudian meraih handphone dan kembali menghubungi nomor handphone tadi. “Assalamualaikum, Teungku. Masih ada obat-obatannya sama saya. Titipan Teungku Kade. Saya harus mengantar ke mana?” ujar Muti.
“Terimakasih banyak Buk. Titip saja di salah satu warung di kawasan Batuphat. Nama tokonya nanti saya kirim melalui pesan. Nanti penghubung kami yang akan mengambilnya,” ujar pria di seberang.
“Baiklah kalau begitu. Semoga kalian baik-baik saja,” ujar Muti.
“Semoga tuhan juga melimpahkan rahmat dan karunia untuk Ibu, suami dan anak-anak atas bantuan ini. Kami tak akan pernah lupa,” jawab pria di seberang sana.
Mendengar hal ini, Muti tertawa. Sementara pria di seberang telepon terdiam.
“Saya belum nikah dan masih gadis. Tapi terimakasih atas doanya,” ujar Muti. Usai mendengar hal ini, giliran pria di seberang yang tertawa.
“Mohon maaf kalau begitu, Buk…eh..Dek,” ujarnya.
“Panggil saja saya Muti. Nama lengkapnya, Mutiara,” katanya lagi.
“Iya, Buk Mutiara. Kalau saya biasa dipanggil Pakwa. Tapi itu hanya sandi. Saya juga belum menikah,” ujar pria di seberang telepon.
Muti tersenyum mendengar pengakuan pria di seberang. Berbicara dengan pria itu membuatnya nyaman. Namun dia tak ingin terpikat lebih jauh dengan pria yang dikenalnya melalui handphone tersebut. Apalagi, pria tadi berstatus sebagai Tentara Nanggroe. Selama ini dia membantu hanya karena alasan kemanusiaan.
“Nama asli saya, Musa. Terimakasih banyak Buk Muti,” ujar pria di seberang telepon lagi sebelum menutup telepon.
Muti mengambil tas di ruang kantor dan bergegas menuju jalan raya raya dengan mengangkut kardus besar berisi obat-obatan.
Beberapa angkutan umum lewat dan dia memberhentikan salah satunya. Untunglah, penumpang di angkutan umum tersebut masih sepi. Kalau banyak penumpang, tentu mereka akan curiga melihatnya membawa kardus besar berisi obat-obatan.
Dari arah Cunda, angkutan tersebut bergerak pelan menuju Batuphat. Mata Muti menyisir satu persatu toko guna mencari nama yang sesuai dengan pesan singkat dari Pakwa.[Bersambung]
Cerita bersambung ini karya Musa AM
Discussion about this post