Cinta dan Tugas Kemanusiaan
SOROT mata Muti mulai meredup. Rasa kantuk mulai menyerangnya. Jam sudah menunjukan pukul 02.15 WIB dini hari. Dia berkali-kali menguap. Namun tumpukan kertas di depannya seakan menantang dia untuk tetap bergadang serta menyelesaikan tugas.
Ya, di depannya, ada tumpukan lembaran kertas pengaduan masyarakat dari Pase. Mulai dari laporan penghilangan paksa, kekerasan, serta penemuan mayat tak bernama. Ada foto serta video kekerasan yang diambil secara diam-diam oleh masyarakat.
Hampir semua kejadian tadi luput dari pemberitaan media massa. Masyarakat lebih percaya kepada mereka daripada kuli tinta. Entah kenapa. Muti mengelap keringat dengan menggunakan jilbab. Tisu sudah dari tadi habis terpakai. Panas.
Kipas angin seakan sudah tak mempan lagi bagi dirinya. Demikian juga dengan beberapa gelas kopi Gayo yang sudah kosong di depannya. Mereka seakan tidak membantu.
Handphone milik Muti tiba-tiba berdering. Wanita berkulit hitam manis itu mengangkat dengan sangat hati-hati. Belakangan ini banyak nomor tak dikenal masuk ke handphonenya. Rata-rata menelpon untuk menerornya agar tak lagi menjalankan tugas kemanusiaan.
“Mamak,” gumam gadis itu tiba-tiba. Dia segera menjawab panggilan tersebut.
“Assalamuaikum Mak. Ada apa menelpon malam-malam,” ujarnya dengan nada lembut.
“Walaikumsalam. Dimana kamu nak? Kok tidak pulang? Mamak cemas kau tidak pulang sudah selarut ini,” ujar seorang wanita di seberang sana dengan nada buru-buru. Wanita itu sepertinya cemas.
Muti tersenyum. Dia merasa bangga memiliki orang tua yang begitu perhatian terhadap dirinya.
“Saya masih di kantor. Koalisi NGO HAM Lhokseumawe. Masih banyak tugas. Makanya saya pikir malam ini lebih baik tidur di kantor. Kalau tugas ini selesai, Muti akan pulang,” jawabnya.
“Muti. Kamu itu perempuan Nak. Apa tidak lebih baik kamu pulang ke rumah dan bekerja. Mamak bisa membantumu jika di rumah. Ayahmu juga bisa tenang,” ujar wanita di seberang telepon lagi.
“Mak. Mamak tahu apa yang Muti kerjakan bukan? Muti tak pulang karena tugas di kantor,” ujarnya singkat.
“Ya. Tapi ayah dan mamakmu ini tak tenang. Kata kawan-kawanmu, kau sering diteror belakangan ini. Ini membuat ayahmu khawatir,” ujar mamaknya itu dengan nada lesu.
Muti menarik nafas panjang. Rasa kantuknya tiba-tiba hilang. Ya, apa yang dikatakan oleh orangtuanya memang benar adanya. Namun baginya, tak ada pekerjaan yang tak beresiko.
“Ya tak ada pekerjaan yang tak beresiko Mak. Saya ingin berbakti bagi Aceh. Mungkin bekerja di sinilah membuat keberadaan saya lebih berarti,” ujarnya lagi.
Muti berdiri dan menatap jendela dengan hati-hati. Dia melihat cahaya dari rumah warga yang mulai meredup. Ya, mereka sedang terbuai mimpi indah. Atau mereka sedang bersembunyi di bawa kasur guna menghindari peluru nyasar jika seandainya kontak senjata antara GAM dan TNI terjadi tiba-tiba.
“Baiklah, Nak. Jaga dirimu baik-baik. Ingat kalau kamu itu perempuan. Ibu dan ayahmu ini akan sangat menyesal jika seandainya terjadi sesuatu terhadap dirimu,” ujar Mamaknya lagi.
“Ya, Mak. Mamak dan ayah tidur saja. Besok kalau sudah selesai, Muti pulang. Assalamualaikum,” ujarnya.
“Walaikumsalam,” jawab Mamaknya di seberang. Muti kemudian memutuskan sambungan telepon. Namun dia masih berdiri di dekat jendela ruang kantornya. Pikirannya tertuju pada nasehat orangtuanya selama ini.
Muti mengerti dengan kecemasan keluarganya beberapa bulan terakhir. Keluarganya telah berulang kali memintanya untuk meninggalkan tugasnya di Koalisi NGO HAM Lhokseumawe. Beberapa cara ditempuh, termasuk mencarinya calon suami untuknya. Tujuannya, tentu saja agar dia beralih tugas dengan menjadi ibu rumah tangga.
Namun langkah yang ditempuh oleh orangtuanya tersebut tak membuat Muti berhenti bekerja. Muti juga tak merasa cocok dengan sejumlah pria yang datang untuk meminangnya. Mulai dari pegawai pemerintah hingga pengusaha. Semua calon tadi ditanggapi dingin olehnya hingga mereka putus semangat dan mundur satu persatu.
Sikapnya ini membuat keluarga panik. Mereka khawatir kalau ia jadi perawan tua.
“Biar tuhan yang mengatur jodohku, Mak. Tak usah dipaksakan. Kalau dipaksakan, aku malah khawatir, mereka tak akan bertahan lama,” ujar Muti suatu ketika kepada orangtuanya.
“Aku akan menikah ketika bertemu dengan lelaki yang mementingkan Aceh di atas kepentingan pribadinya,” ujar Muti lagi saat itu.
Perkataan inilah yang membuat keluarganya menyerah mencari jodoh untuknya. Mereka sepertinya menyesal memiliki anak gadis yang keras kepala sepertinya. Mengingat hal ini, Muti merasa bersalah kepada keluarganya. Namun untuk kondisi Aceh hari ini, memang memerlukan perempuan-perempuan seperti Cut Nyak Dhien. [Bersambung]
Cerita bersambung ini karya Musa AM
Baca Juga :
Discussion about this post