MEDIAACEH.CO, Bengkulu – April 2014. Tim penyelamat menemukan seekor harimau betina yang terkena jerat pemburu. Dia bersembunyi di semak belukar dengan satu kaki depan yang hitam membusuk.
Mereka harus bergegas untuk mendahului para pemburu yang saat itu juga ingin membinasakannya. Sesaat ketika tim menenemukan harimau liar di belakang belukar, dokter hewan Erni Suyanti Musabine langsung melangkah ke garis depan. Polisi hutan dan tim penyelamat berada di belakangnya, mengawasi dengan was-was.
"Ketika ada harimau terjerat, biasanya saya orang pertama yang mendekat, untuk melihat kondisinya, ukuran badannya. Itu akan menentukan dosis obat bius supaya tidak kurang, atau sebaliknya overdosis," kata Yanti.
Selalu ada perasaan takut, dan lutut pasti gemetar, kata Yanti. Namun pengetahuan tentang perilaku harimau menguatkan tekadnya untuk melangkah, mendekat, dan akhirnya menembakkan obat dengan sumpit bius bambu miliknya.
Harimau yang kemudian diberinama Elsa itu diamputasi satu hari setelah dievakuasi di koridor kantor BKSDA Bengkulu. Tidak ada ruang khusus dan peralatan yang sesuai standar.
Dokter Yanti harus melakukan apa yang harus dia lakukan dengan peralatan seadanya: segera memotong kaki Elsa agar luka yang telah menganga beberapa hari itu tidak menimbulkan infeksi mematikan.
Elsa adalah satu dari sebelas harimau yang diselamatkan Yanti dalam sembilan tahun terakhir di Bengkulu dan Jambi. Dia sekaligus menjadi salah satu harimau yang kisahnya paling membekas.
"(Elsa) Sudah banyak menguras tenaga pikiran dan air mata juga, karena perjuangan untuk membuat dia bertahan hidup itu sangat susah. Saat kami tidak punya dana, banyak lembaga tidak mau bantu kami, dana pemerintah tidak ada karena harus diajukan satu tahun sebelumnya," cerita Yanti.
Suatu hari, sekembalinya dia dari perjalanan kerja, dia terkejut ketika menemukan Elsa yang dia rawat belum diberi makan selama satu pekan. Air mata Yanti selalu mengalir ketika dia mengingatnya. "Jadi saya harus cari bantuan kepada individu, orang yang saya tidak kenal yang bisa menyumbangkan uangnya, atau berjualan barang bekas agar saya (akhirnya) bisa memberi makan harimau (Elsa) selama setahun."
Dia mengaku kerap putus asa dan merasa sangat tak berdaya. "Saat saya bersedih karena tidak bisa membantunya, kadang saya minta maaf sama hewan itu karena tidak bisa membelikan hewan itu makan," katanya.
Ia menyebut, senang berkomunikasi dengan hewan yang dirawatnya. "Dan sepertinya, dia tahu (mengerti) juga. Dia seperti memahami apa yang saya ungkapkan."
Nasib harimau sumatera kini berada di ujung tanduk. International Union for the Conservation of Nature (IUCN) mengkategorikannya sebagai spesies yang sangat terancam punah. Jumlahnya diperkirakan hanya ada 300-400 ekor di alam liar, dengan sekitar 200-250 ekor berada di kebun binatang di seluruh dunia.
Di Sumatera khususnya di Riau, populasinya diperkirakan hanya tersisa 192 ekor saja pada 2007, kata World Wild Fund (WWF).
Selain perburuan untuk diambil kulit dan taringnya, harimau sumatera juga terancam karena habitatnya tergerus sehingga kerap menimbulkan konflik dengan manusia.
Inilah yang terjadi pada kasus Giring, harimau yang masuk ke perkebunan karet dan sawit di Kabupaten Seluma, Bengkulu.
"Karena usianya tua dan ada pejantan baru yang dominan, dia tersingkir dari hutannya sehingga pindah jalur jelajah di sekitar perkebunan karet dan perkebunan sawit."
"Diduga harimau ini telah membunuh dan memangsa seorang warga sehingga perlu dievakuasi untuk memberikan rasa aman bagi warga," cerita Yanti.
Suara raungan terdengar dari kejauhan selagi saya dan Dokter Yanti berjalan menuju kandang Giring di Pusat Pelatihan Gajah Seblat, tempat dia dirawat beberapa bulan terakhir.
Semakin dekat, raungan itu semakin menggema, memekakan telinga, dan membuat nafas tercekat. Di balik jeruji, hewan besar yang buas itu menatap tajam ke arah kami, mengawasi tiap gerakan.
Di sini, sebuah tim disiapkan untuk membersihkan kandang dan memberi makan Giring, sementara Yanti melakukan pengecekan rutin memastikan kondisinya sehat.
Giring tak boleh dilepas ke alam liar karena sudah membunuh manusia, namun Dokter Yanti mengatakan harimau tidak akan menyerang tanpa alasan.
"Harimau itu memang buas, tetapi dia tidak jahat pada manusia. Dia hewan yang penuh dengan toleransi. Dari kisah teman-teman di lapangan, ternyata harimau memberi petunjuk pada mereka untuk mencari jalan keluar, ketika kita membantu anak harimau, dia balas budi ke manusia."
"Dia tidak akan menyakiti manusia tanpa alasan, kami sebagai tim rescue sering melihat harimau di hutan tidak pernah ada masalah. "
Kandang Giring berukuran kecil. Hampir tak ada tempat untuknya melakukan aktivitas seperti melompat, apalagi berlari. Cukup menyedihkan melihatnya berbaring di atas papan kayu sepanjang hari.
Ini juga yang membuat Yanti khawatir dan putus asa. "Sudah sembilan tahun kami berkerja untuk harimau, selama itu kami tidak punya peralatan yang layak," katanya.
Cita-cita untuk memiliki klinik kecil, kamar operasi, obat-obatan yang memadai, dan fasilitas pasca-rescue tidak pernah terwujud.
"Ternyata tidak mudah mencari bantuan dari pihak lain, baik dari pemerintah dan non-pemerintah. Kebanyakan yang membantu dan menyumbang adalah individu-individu yang memiliki keprihatinan terhadap harimau."
Namun seberapa sering pun Yanti merasa putus asa, dia tak ingin menyerah.
"(Saat ini) harapan terbesar saya adalah fasilitas yang layak. Kenapa? Saat ini Provinsi Bengkulu belum menjadi prioritas sebagai tempat pembangunan fasilitas perawatan harimau korban konflik dan perburuan. Padahal kami menyelamatkan satu hingga dua ekor harimau tiap tahun, dan itu berhasil dalam keadaan hidup."
Dia tak mau harimau punah di Bengkulu, seperti kasus badak. "Dulu Bengkulu punya badak di sini, karena direlokasi ke luar Bengkulu, badak punah secara lokal di Bengkulu.
Kini (harimau) juga seperti itu semua keluar dari Bengkulu, bahkan ke Jawa. Bayangkan beberapa puluh tahun ke depan kita tidak akan menemui harimau lagi.”[]
Sumber: BBC Indonesia
Discussion about this post