LAZIMNYA sebuah perang pasti akan memakan korban, termasuk korban warga sipil yang tak bersalah. Pada Desember 2003, Human Rights Watch menurunkan laporan tentang kondisi Aceh di bawah status darurat militer.
Laporan tersebut memberikan beberapa kenyataan yang terjadi di lapangan: antara lain eksekusi di luar hukum (extrajudicial execution), penghilangan secara terpaksa (forced dissapearence), pemukulan (beating), penangkapan dan penahanan secara sewenang-wenang (arbitrarily arrest and detention), serta pembatasan atas kebebasan bergerak.
Dalam laporan itu juga disebutkan bahwa di dalam banyak peristiwa yang dideskripsikan kepada Human Right Watch, pasukan keamanan Indonesia–militer dan polisi–secara rutin terutama mengambil jalan kekerasan terhadap lelaki muda Aceh yang diberhentikan untuk ditanyai.
Para saksi mengatakan kepada Human Right Watch mengenai pembunuhan para penduduk sipil saat terjadi “sweepings” di desa-desa, sebagian ditanyai atau ditahan, beberapa lainnya melarikan diri karena takut dianiaya.
Kehadiran 50.000 sampai 60.000 pasukan dan 5000 anggota GAM otomatis telah membuat Aceh bertabur perang. Dari kota hingga ke pelosok desa. Pos-pos keamanan baru dibuat oleh TNI dan Brimob. Operasi pengejaran GAM tidak hanya di kawasan pegunungan dan hutan, tapi terjadi di perkampungan penduduk. Kontak tembak antara GAM dan militer Indonesia saat itu adalah hal yang terjadi saban hari.
Pelanggaran hak asasi manusia yang meningkat tajam sejak darurat militer dimulai, bisa jadi sebagian disumbangkan dari meningkatnya kontak sehari-hari antara tentara dan penduduk desa. Meningkatnya kehadiran (aparat keamanan) di desa-desa nampaknya bertujuan untuk membatasi dukungan materi dan moral dari penduduk lokal untuk GAM, dan kemampuan GAM untuk mengambil pengungsi di desa-desa dan mengikutsertakan mereka dalam pengerahan.
Berdasarkan telaah yang dilakuan terhadap data data pelanggaran HAM di Koalisi NGO HAM, 80 persen kasus pelanggaran HAM yang dilakukan militer terjadi terhadap pihak-pihak yang dicurigai berhubungan dengan GAM. Hubungan itu antara lain dalam bentuk; dituduh terlibat, membantu, mengenal, atau nama yang mirip dengan GAM yang dicari.
Ada juga yang diminta menunjukkan GAM, atau berada di lokasi saat terjadi kontak tembak antara GAM dengan militer Indonesia.
Selama penerapan darurat militer, pelanggaran HAM dalam berbagai bentuk terus terjadi. Yang didapat selama masa tersebut hanya kemunduran-kemunduran derajat penghormatan atas manusia dan kemanusiaan. Bentuknya antara lain, pertama, terjadinya pelanggaran hak-hak dan kebebasan dasar warga sipil Aceh.
Berdasarkan data-data yang ada, operasi militer tidak mampu membedakan anggota kelompok bersenjata GAM dengan aktivis politik, pembela hak asasi manusia termasuk para pekerja kemanusiaan, dan para jurnalis yang bekerja untuk memperoleh informasi.
Dalam beberapa kasus, aparat keamanan sengaja menyempitkan ruang publik (ruang demokrasi) di Aceh. Hal ini terlihat dalam berbagai bentuk peristiwa seperti pelarangan dan pembubaran aksi aksi kelompok masyarakat sipil hingga pembubaran sebuah kegiatan pelatihan yang diadakan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM).
Kondisi itu diperparah lagi dengan tertutup akses terhadap Aceh. Sejumlah kasus-kasus yang terjadi hanya terpendam di Bumi Rencoeng, yang kemudian semakin menambah daftar panjang pelanggaran HAM yang terjadi sejak masa DOM. Padahal, ketika itu, suasana politik Indonesia baru saja menemui kebebasannya setelah Suharto lengser, namun hal itu terkecuali untuk Aceh.
Pintu menuju ke Aceh dikunci rapat. Pemerintah melarang diplomat, pengamat internasional yang independen, dan LSM internasional di bidang hak asasi manusia untuk memasuki Aceh. Selain itu juga, pemerintah menganjurkan badan kemanusiaan PBB dan LSM kemanusiaan luar negeri untuk pergi dari Aceh. Pemerintah Indonesia telah sangat sukses membatasi arus informasi dari propinsi tersebut.
Laporan perkembangan Aceh pasca-MoU oleh Imparsial 2006 lalu menyebutkan telah terjadi pembongkaran kuburan warga sipil. Kebanyakan kuburan itu berada di dekat pos-pos keamanan TNI non-organik yang didirikan pada era Darurat Militer hingga Darurat Sipil.
Awalnya, pembongkaran itu dilakukan karena kecurigaan penduduk sekitar, dan juga kecurigaan masyarakat yang kehilangan anggota keluarga. Dari beberapa pembongkaran yang dilakukan, kerangka yang ditemukan dapat diidentifikasi oleh warga ataupun keluarganya, namun tidak diketahui penyebab kematiannya.
Hingga 30 Januari 2006 tercatat sebanyak 23 peristiwa penggalian. Dari tempat itu ditemukan sebanyak 38 kerangka korban yang diindikasikan hilang pada masa darurat militer berlangsung di Aceh. 34 diantaranya lelaki, satu perempuan dan tiga kerangka anak-anak. Beberapa kerangka juga ditemukan dalam keadaan tangan terikat, kepala hilang dan terbungkus dalam karung.
Penggalian terhadap kuburan tersebut seharusnya melibatkan pihak yang berwenang dan kelompok ahli forensik. Hal ini dimaksud agar dapat terungkap persitiwa yang terjadi. Namun, pihak yang berwenang tidak melakukan perlindungan terhadap temuan kerangka tersebut dan berbagai lokasi yang diindikasikan menjadi lokasi kuburan korban pelanggaran HAM.
Pembongkaran kuburan tersebut menghancurkan, bahkan menghilangkan barang bukti pelanggaran HAM, sehingga dapat menghambat penyelidikan.
Sesuai dengan mandat MoU perdamaian antara Pemerintah RI dan GAM untuk penyelesaian masalah pelanggaran HAM di Aceh, maka aparat penegak hukum diwajibkan untuk menjaga dan tidak membiarkan terjadinya penghancuran barang bukti.[]
Sumber: Dari buku, Fakta Bicara: Mengungkap Pelanggaran HAM di Aceh 1989-2005. Penulis: Qahar Muzakar dan Mellyan. Diterbitkan oleh Koalisi NGO HAM Aceh, Cetakan Pertama, Maret 2011.
Discussion about this post