BEBERAPA hari di Cot Mambong, tempat bermukimnya pasukan Abu Sayap, kami berempat kembali meminta izin dari Teungku Liah untuk pamit menuju ke daerah Pulo Iboeh, Kecamatan Kuta Makmur.
Daerah ini biasanya merupakan markasnya pasukan Kofianan. Ini juga merupakan singgahan kami yang kesekian kalinya selama darurat militer diterapkan.
Seperti biasa, kedatangan kami kali ini juga mendapat sambungan hangat dari Kofianan. Dia mengajakku, Dani, Adi serta Geuchik Daud untuk beristirahat di balai belakang rumah kosong.
“Untunglah kau datang, Pakwa. Dengan begitu, kita lebih siap,” kata Kofianan saat menyambutku siang itu. Dia seperti ingin curhat sesuatu.
“Kenapa?” tanyaku padanya dengan nada penasaran.
“Pasukan Ableh sedang mengarah ke sini,” kata Kofianan singkat. Mendengar hal ini aku terdiam. Aku jadi mengerti apa yang dipikirkan oleh Kofianan.
Pasukan Ableh merupakan pasukan komando. Pasukan ini awalnya bernama Piranha selama di bawah komando Amat Kandang.
Namun setelah Bang Amat Kandang meninggal, pasukan Piranha di bawah tanggungjawab langsung Sofyan Dawood. Mereka ditugaskan mengawal Mualem serta berubah nama menjadi pasukan komando.
Saat darurat militer diterapkan, pasukan Ableh termasuk salah satu pasukan yang paling diincar oleh TNI. Dimana pun posisi pasukan Ableh berada, maka dipastikan akan terjadi perang serta pengepungan secara besar-besaran oleh TNI.
Ini karena TNI menganggap bahwa dimana pun pasukan ini berada, maka Mualem Muzakir Manaf pasti berada di lokasi itu. Padahal tidaklah demikian. Mualem menerapkan taktik gerilya dan cukup berhasil.
Sejak darurat militer diterapkan, Mualem justru memisahkan diri dengan kelompok ini. Mualem bergabung dengan pasukan Batee Liek serta berada di pedalaman Bireuen serta kadang-kadang berpindah tempat.
Sedangkan pasukan Ableh bergerilya dari lokasi yang satu ke lokasi yang lain untuk mengisyaratkan TNI bahwa Mualem tetap berada bersama mereka. Pasukan ini beranggota lebih dari 30 orang.
Anggota pasukannya rata-rata masih sangat muda, namun cukup disegani oleh lawan dalam hal bertempur. Ableh sendiri sadar akan posisinya tersebut.
Dengan kata lain, dengan adanya informasi bahwa pasukan Ableh sedang mengarah ke lokasi kami, atau markas Kofianan, maka bisa dipastikan perang besar akan segera terjadi di daerah itu.
“Bukankah kita sudah terbiasa dengan perang? Yang perlu dilakukan sekarang justru pengawasan yang harus diperketat,” ujarku pada Kofianan. Sosok itu tersenyum dan kemudian mengangguk.
“Ya. Tapi kali ini kita mungkin akan berperang lebih banyak dari biasanya. Soal pasukan yang berjaga-jaga, aku sudah meminta pasukan memberi pengawalan berlapis,” ujarnya tersenyum. Demikian juga dengan diriku.
Sore harinya, pasukan Ableh ternyata benar-benar singgah di Pulo Iboeh. Ableh tersenyum melihatku bersama Kofianan.
Kami memang beberapa kali pernah bertemu di kantor wilayah sebelum darurat militer diterapkan.
“Apakabar, Pakwa? Aku senang melihatmu baik-baik saja,” ujar Ableh sambil memelukku. Dia kemudian berjabat tangan dengan Kofianan dan saling tersenyum.
“Maaf jika kedatangan kami membuat kalian cemas,” ujar Ableh. Sedangkan Kofianan hanya tersenyum. Aku, Ableh dan Kofianan kemudian menuju ke dalam rumah kosong yang digunakan sebagai markas.
Pasukan Ableh kemudian berbaur dengan timku dan anggota pasukan Kofianan.
Dari dekat jendela, aku mengamatiku satu persatu anggota pasukan Ableh, mereka memang masih sangat muda-muda dan berpakaian necis. Bahkan ada beberapa yang berambut gondrong.
“Mereka penembak jitu. Yang gondrong itu bernama Adi,” ujar Ableh di sisi kananku sambil menunjuk ke arah anggotanya. Aku tersenyum.
“Ya. Kalau timku saat ini hanya 4 orang,” kataku pada Ableh lagi tampak melihatnya.
“Jangan merendah. Benar, hanya 4 orang di sini. Tapi aku justru mendengar kalau Bang Yan telah memerintahkanmu untuk mengendalikan tim transporter,” ujarnya lagi.
Aku sendiri terdiam mendengarkan pengakuan Ableh ini. [Bersambung]
Discussion about this post