PERKENALANKU dengan Rani berlanjut dengan pertemuan-pertemuan selanjutnya. Gadis itu selalu menungguku di depan ruang belajar. Hal ini membuatku risih.
Aku risih karena beberapa alasan. Pertama, teman-teman seangkatan menganggapku memiliki hubungan special dengan Rani. Padahal, hubunganku dengan Rani hanyalah teman biasa.
Sedangkan yang kedua, penampilan Rani terlalu modis untukku. Ia juga tak mengenakan jilbab serta berpakaian muslimah.
Aku takut terjerumus dalam perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh agama jika terlalu dekat dengannya.
Hal ini pernah kusampaikan kepada Tahito. Sosok itu sadar kalau aku merasa tidak nyaman dengan sikap Rani yang menungguku setiap jam belajar selesai. Namun Tahito justru tertawa dengan pengakuanku.
“Aku tak tahu kalau orang Aceh bisa selektif seperti itu dalam memilih pacar dan calon istri,” kata Tahito.
“Bukan orang Aceh, tapi mungkin kepribadianku sendiri. Kalau dia ingin berteman, tak usahlah menungguku di depan ruang selalu. Ini hanya soal kenyamanan,” kataku pada Tahito.
“Tapi dia sepertinya suka denganmu. Kenapa kamu tak mengatakan terus terang,” ujar Tahito.
Perkataan Tahito ini memang ada benarnya. Namun aku takut menyakiti hati Rani.
Untuk menjaga jarak dengan Rani, aku kemudian mendaftar sebagai anggota Pencinta Alam Mahasiswa Ekonomi (PALMAE). Organisasi sejenis Mapala di kampus.
Setiap anggota baru diwajibkan untuk ikut Diksar selama sepekan. Untuk 1997, Diksar berlangsung di Gunung Merapi, Kaliurang.
Sebelum berangkat, aku menghabiskan waktu seharian untuk membeli peralatan mendaki gunung.
Di PALMAE, ternyata juga ada beberapa mahasiswa asal Aceh. Mereka seperti Fadli, mahasiswa Manajemen asal Meulaboh. Ia sebenarnya seletting denganku, namun langsung mendaftar di PALMAE pada tahun pertama tercatat sebagai mahasiswa atau 1996.
Kemudian ada juga senior PALMAE bernama Andi. Ia mahasiswa angkatan 1994. Di PALMAE, ia biasa disapa dengan sebutan Si Aceh. Ini karena dia merupakan mahasiswa asal Aceh pertama yang bergabung dalam organisasi ini.
Sepekan di Gunung Merapi kulalui dengan baik. Selama Diksar pula, aku mengetahui bahwa anggapan orang terhadap anggota Mapala selama ini ternyata tidak benar.
Semasa SMA di Krueng Mane, aku berpikir bahwa mahasiswa pecinta alam itu identik dengan kotor, urakan serta berprestasi anjlok. Namun anggapan itu ternyata tidak benar.
Rata-rata mahasiswa yang bergabung di PALMAE ternyata memiliki nilai akademik tinggi. Kami juga diajari hidup bersih serta jangan membuang sampah sembarangan dan peduli lingkungan.
Aku merasa benar-benar menemukan dunia baru setelah bergabung dengan PALMAE. Yang terpenting, aku bertambah kagum dengan Allah SWt yang telah meciptakan alam yang begitu indahnya.
+++
USAI Diksar, aku kembali ke kampus. Aku mencoba focus untuk belajar. Namun ada hal yang sedikit aneh. Aku ternyata tak lagi melihat Rani di depan ruang belajar kami.
Sepekan pertama usai Diksar, aku juga tak melihat sosok gadis berambut panjang itu.
Aku memcoba bersikap biasa. Seolah tak peduli. Namun rasa penasaranku terhadap sosok gadis Yogya itu sangat kuat. Tahito yang melihat tingkahku akhirnya buka mulut.
“Waktu kamu ikut Diksar PALMAE. Aku bertemu Rani dan kuceritakan semua curhatanmu itu. Dia sepertinya sangat sedih,” kata Tahito di kantin. Penjelasan Tahito ini membuatku paham dengan apa yang terjadi.
Di satu sisi, aku merasa nyaman karena tak lagi dihantui dengan keberadaan Rani di depan ruang. Namun di sisi lain, aku khawatir jika hati Rani terluka.
Aku kemudian membayar makanan dan keluar kantin. Aku mengarah ke lantai II, serta menuju ruangan yang sering dijadikan ruang kuliah bagi mahasiswa semester satu.
Seperti dugaanku, Rani ternyata memang benar ada di ruangan tersebut. Namun ada yang berbeda dengan penampilannya. Rani kini terlihat lebih alim. Ia memakai rok panjang serta baju kemeja lengan longgar. Namun ia masih tak mengenakan jilbab. Melihat sosokku, Rani sedikit kaku.
Aku kemudian memberi isyarat kepadanya untuk ke taman kampus. Aku ingin berbicara dengannya. Rani mengangguk dan mengekorku dari arah belakang.
Di taman, ada dua kursi yang saling berhadapan. Rani duduk di kursi kiri dan aku duduk pada kursi lainnya. Kami saling berhadapan. Kami sempat terdiam beberapa saat.
“Saya sudah mengetahui, apa yang ingin Mas sampaikan. Maaf jika saya mengganggu kenyamanan Mas. Maaf sebesar-besarnya,” kata Rani. Aku terkejut karena dia yang terlebih dahulu membuka obrolan.
“Terus-terang, saya menyukai Mas sejak malam pencopetan itu. Saya masuk ke UGM juga karena ingin ketemu Mas. Namun karena Mas tidak menyukai saya, tidak masalah. Mungkin sudah nasib saya,” ujarnya lagi.
Penjelasan Rani yang blak-blakan ini kian membuatku serba salah. Aku merasa tak nyaman.
“Jangan larang saya untuk berhenti menyukai Mas. Saya rela bila Mas menyukai gadis lain nantinya. Saya juga tak akan mengganggu kenyamanan Mas. Anggap saja seolah-olah tak pernah terjadi apapun,” kata Rani lagi sambil menitikkan air mata. [Bersambung]
Cerita bersambung ini karya Musa AM
Baca juga: [Cerbung] Sang Kombatan (50)
Discussion about this post