USAI jadwal kuliah pertama, Tahito langsung menggiringku ke kantin kampus. Di pojok sebelah kanan, aku melihat sosok yang beberapa waktu lalu tersenyum ke arahku di kantin.
Gadis itu mengenakan batik modis berwarna biru. Roknya juga berwarna biru muda dan panjangnya hanya selutut. Ia membiarkan rambut panjangnya terurai.
Gadis itu ditemani temannya. Keduanya sama-sama cantik. Mereka tersenyum saat melihat aku dan Tahit berada di pintu masuk kantin.
Tahito melambai ke arah mereka. Para gadis tersenyum penuh arti.
“Sorry kami sedikit telat. Baru keluar dari ruang,” kata Tahito saat kami mendekat.
Aku menyalami mereka satu persatu. Aku sebenarnya sedikit risih dengan penampilan mahasiswa baru tersebut. Mereka terlalu modis untuk umurnya, serta tentu saja tak memakai jilbab.
Kami duduk semeja. Aku dan Tahito menghadap kedua gadis tadi. Kami sempat terdiam beberapa saat.
“Mas Musa, tak mengganggukan kalau saya ajak ketemu di kantin? Tak ada yang marah?” ujar sang gadis berambut panjang tadi membuka obrolan. Aku mencoba tersenyum.
Awalnya aku sedikit kaku. Maklum, selama ini aku jarang berkomunikasi dengan lawan jenis. Apalagi berhadapan langsung dengan perempuan cantik nan modis seperti sekarang.
“Tak ada yang marahkan kalau kita duduk seperti ini?” ujarnya lagi sambil tersenyum. Senyumnya sangat manis. Aku berusaha istighfar dalam hati. Aku berusaha tak terpikat olehnya dan jauh dari godaan syaitan.
“Tidak. Saya jamin tidak ada yang marah. Dia selama ini jarang bergaul dengan perempuan,” kata Tahito memotong. Tahito mencoba menjadi penengah. Ia sepertinya sadar kalau aku kaku terhadap perempuan.
“Oya, Mas. Nyak Mul mana?” kata sang gadis tadi lagi. Kali ini aku sedikit terkejut. Aku mulai yakin kalau gadis itu ternyata memang mengenalku.
“Dia kuliah di Fisip. Mungkin sekarang sudah di kos,” kataku.
Gadis itu tersenyum. Ia sepertinya mulai sadar kalau aku ‘lupa’ dengan sosoknya.
“Mas masih teringat dengan kejadian pencopetan yang menimpa seorang gadis sekitar 10 bulan lalu? Yang Mas dan Nyak Mul tolong? Mas bilang kenal dengan Dirman si Raja Preman, sehingga pencopet itu lari?” tanya sang gadis. Sedangkan temannya tertawa.
Penjelasan gadis tersebut membuatku tersenyum. Ya, aku masih ingat dengan kejadian tersebut. Namun malam itu, aku tak begitu memperhatikan wajah gadis itu.
“Jadi gadis itu kamu?” tanyaku. Sang gadis tersenyum serta mengangguk. Demikian juga dengan Tahito dan wanita di depannya.
“Iya Mas. Saya belum sempat mengucapkan terimakasih sama Mas dan teman Mas yang satu lagi, Nyak Mul. Saya tak tahu, bagaimana kondisi saya jika seandainya Mas dan Nyak Mul tak menolong malam itu,” katanya lagi sambil tersenyum.
Aku mengangguk. Aku mulai paham kenapa gadis itu mencariku.
“Kemarin waktu ketemu di kantin, ingin saya sapa. Tapi saya khawatir kalau Mas tidak mengenal saya. Ternyata memang benar-benar tak mengenali,” ujarnya lagi.
“Rugi kita cantik-cantik tapi tak dikenal ya,” sela teman sang gadis sambil tersenyum.
“Bukan begitu. Bukan persoalan cantik atau tidak. Saya benar-benar lupa. Saya tidak bermaksud apa-apa saat menolong dulu. Saya ikhlas,” ujarku.
“Musa memang orangnya suka menolong dan cerdas. Kelemahannya cuma satu, yaitu berhadapan dengan wanita,” sela Tahito. Sedangkan kedua wanita di depan kami tersenyum. Aku jadi malu dibuat Tahito. Ia begitu terus terang dengan orang yang baru dikenalnya.
“Oya, Mas. Saya Rani. Nama lengkap saya, Maharani. Asli Yogya. Malam itu kita belum sempat berkenalankan?” kata sang gadis berambut panjang. Ia memperkenalkan diri sambil menjulurkan tangan kanannya.
“Aku Musa. Asal Aceh,” kataku saat kami berjabat tangan.
“Ini Tahito. Dia asal Maluku,” kataku lagi sambil memperkenalkan pria hitam berambut ikal di sisi kiriku.
“Kami sudah berkenalan tadi pagi. Telat kamu,” sela Tahito.
Perempuan bernama Rani itu tersenyum.
“Kalau ini Mira, Mas. Kawanku di jurusan. Aku jurusan Ekonomi Pembangunan juga. Mungkin sudah ditakdirkan Tuhan kalau kita kembali bertemu,” ujar Rani lagi. Gadis di sisi kanan Rani tersenyum serta mengangguk pelan.
“Selama ini saya berkali-kali datang ke lokasi pencopetan beberapa waktu lalu. Saya berharap bisa berjumpa dengan Mas. Tapi tak pernah ketemu. Akhirnya justru bertemu di Fakultas Ekonomi,” kata Rani lagi.
“Ah, bohong Mas. Rani justru mendaftar di Fakultas Ekonomi UGM karena memang ingin bertemu dengan Mas. Padahal ia lulus di Universitas Indonesia, lho,” kata Mira tiba-tiba.
Keterangan Mira ini membuat wajah Rani merah. Ia menyiku kawannya itu.
Aku juga serba salah mendengar informasi tersebut. Hatiku mendadak berbunga-bunga. Namun aku sudah berjanji sama ibuku di kampung untuk tidak berpacaran selama kuliah.
Kemudian sebagai orang Aceh, aku juga tahu bahwa Islam mengharamkan pacaran. Aku juga berharap Rani tidak memiliki perasaan kagum yang berlebihan terhadap diriku ini. [Bersambung]
Cerita bersambung ini karya Musa AM.
Baca Juga :
Discussion about this post