MEMASUKI pertengahan semester dua, aku kian giat belajar. Aku tak mau nilai akademik anjlok seperti semester pertama. Aku lebih banyak menghabiskan waktu di perpustakaan dan ruang kuliah.
Saat jam kuliah selesai, aku lebih memilih berada di kamar kos untuk membaca. Demikian juga dengan Nyak Mul. Kami mengurangi durasi untuk jalan-jalan keliling Yogya di malam hari.
Sejumlah buku tentang ilmu ekonomi ‘kulahap’ satu persatu. Buku-buku ini hasil pinjaman dari pustaka kampus. Buku-buku ini menumpuk di samping buku sejarah pergerakan milik Gabriel yang tertinggal di kosku. Ada juga buku sejarah Aceh yang dihadiahkan Gabriel untukku.
Beberapa Minggu terakhir, Gabriel memang mulai jarang berkunjung ke kosku. Terakhir ketemu, saat Gabriel curhat soal kondisi keluarganya di Papua. Ya, saat ia menangis.
Aku cuma bertemu dengan Gabriel di ruang kuliah. Namun usai jam belajar bubar, ia langsung menghilang.
Dari Tahito, aku mengetahui kalau Gabriel mulai lebih banyak menghabiskan waktu dengan rekan-rekannya sesama Papua.
“Mereka sedang merancang demo dukungan untuk gerakan perlawanan Papua di Yogya,” kata pria berambut ikal itu kepadaku saat kami bertemu di kantin kampus.
Aku tak berkomentar banyak. Dari awal bertemu dengan Gabriel, aku sudah menduga kalau ia akan menjadi aktivis jalanan. Namun aku tak menduga akan secepat ini. Apalagi, kami masih semester dua.
“Aku berdoa semoga ia baik-baik saja,” kataku. Tahito mengangguk.
Kami kemudian bubar dan aku kembali ke kos. Aku kembali menghabiskan malam dengan buku.
Pagi hari, pukul 10.00 WIB, aku menumpang bus kota untuk menuju ke UGM. Di bundaran, aku melihat ada belasan pria menenteng spanduk dan beberapa lembar bendera, namun bukan merah putih.
Mereka berteriak Papua merdeka. Sementara puluhan polisi yang mengawal aksi mereka secara ketat. Ada juga beberapa pria memegang kamera mengelilingi demonstan sambil memotret.
Anehnya, beberapa pria yang memegang kamera tadi berpostur tegap. Karakter yang sangat jauh dari seorang kuli tinta.
Dari dalam bus, aku mencoba mencari sosok Gabriel. Ternyata memang benar. Sosok itu berada dalam barisan demonstan. Aku tiba-tiba cemas. Namun bus yang aku tumpangi menjauh.
Di ruang kuliah, Tahito sudah menungguku. Aku menebak kalau ia juga melihat Gabriel melakukan aksi di bundaran tadi. Wajahnya cemas.
“Apa kau melihat Gabriel di bundaran tadi?” ujarnya. Aku mengangguk.
Percakapan kami terputus saat dosen tiba-tiba masuk. Kami terdiam. Dr. Anggito Abimanyu yang mengajar ekonomi mikro memang sangat disegani di kampus. Orangnya sangat pintar dan apa yang disampaikannya mudah dimengerti.
Aku melihat Gabriel tak masuk ruangan. Kami belajar hingga pukul 12.00 WIB.
Aku dan Tahito kemudian menuju kantin. Santo melambai tangan ke arah kami. Ia memang beda jurusan dengan aku, Tahito dan Gabriel.
“Tadi demo orang Papua dibubarkan polisi. Beberapa ditangkap,” kata Santo. Biarpun ia berasal dari Timur-Timur. Logat bahasanya sangat pasaran.
“Apa Gabriel ditangkap?” tanyaku lagi. Santo menggeleng kepala.
“Tidak tahu. Mungkin saja,” katanya lagi. Kami kemudian terdiam.
Kami memesan teh hangat dan meneguknya dengan cepat. Suasana kantin saat itu sedang ramai. Gadis-gadis Fakultas Ekonomi berkumpul serta merumpi. Sedangkan kami lebih banyak terdiam.
30 menit di kantin, kami memutuskan bubar. Aku pulang ke kos dan kudapati pintu kamarku tak terkunci. Saat pintu kubuka, aku melihat Gabriel sedang tertidur di atas kasur. Ia terkejut dengan kedatanganku. Namun ia cepat menguasai diri dan mencoba tersenyum ke arahku.
“Maaf, Beta terpaksa masuk. Tempat tinggal Beta digerebek polisi. Beta hanya tak tahu kemana. Beta pikir di tempat ini aman,” ujar Gabriel.
Aku terkejut mendengar penjelasan Gabriel. Aku sudah menduga jika imbas dari demo yang dilakukan tadi pagi seperti ini.
“Ya, tak masalah. Tidurlah di sini malam ini. Kau akan aman selama di sini. Bertahanlah di kos ku hingga keadaan aman,” kataku mencoba menenangkan Gabriel. Ia hanya tersenyum.
Aku meletakan tas dan bersalin. Aku kemudian ke dapur untuk memasak Indomie. Saat Indomie matang, aku memisahkannya dalam dua piring plastic dan kutambah nasi. Makanan itu aku bawa ke kamar dan sepiring kuserahkan ke Gabriel.
“Maaf, di sini tak ada sagu,” kataku. Gabriel tertawa. Ia seolah-olah tak memiliki beban.
Kami berdiskusi hingga larut malam. Gabriel kembali bercerita soal kehidupannya yang serba kekurangan di Papua. Ketertarikannya terhadap kelompok perlawanan Papua dan kondisi ibunya yang sedang sakit-sakitan.
“Beta ingin pulang. Beta ingin bergabung dengan pejuang Papua,” kata Gabriel.
“Lantas bagaimana dengan kuliahmu?” tanyaku. Namun Gabriel tak menjawab. Ia lebih memilih membaca buku sejarah. Karena tak mendapat jawaban, aku memilih tidur dan akhirnya benar-benar tertidur.
Aku baru bangun ketika waktu subuh tiba. Saat itu aku melihat Gabriel tak lagi berada di kamar. Ia meninggalkan sepucuk surat di dekat tas.
“Maaf, Beta benar-benar harus pulang. Beta titip buku-buku sejarah ini untukmu. Semoga cita-citamu tercapai. Gabriel.” [Bersambung]
Cerita bersambung ini karya Musa AM
Baca juga:
Discussion about this post