GADIS muda itu memberontak. Kedua tangannya memegang erat tali tas miliknya. Sementara lelaki bertubuh kurus dan rambut gondrong mencoba menarik paksa dari arah berlawanan. Suasana di sekeliling mereka sepi.
Sang gadis terjatuh. Namun tangannya masih memegang tali tas. Tubuhnya terseret hingga dua meter.
“Lepaskan,” bentak lelaki gondrong.
“Tidak. Tolong, tolong,” teriak gadis itu.
Aku terkejut melihat pemandangan tersebut. Mereka hanya berjarak sekitar 10 meter dari arah kami. Wajah Nyak Mul terlihat pucat.
“Ada pencopet, Musa,” ujarnya tiba-tiba sambil menunjuk ke arah depan.
“Tolong, tolong,” teriakan gadis itu kembali terdengar.
Aku segera berlari ke dekat sang gadis. Gerakan itu spontan terjadi. Aku tak berpikir panjang. Nyak Mul menyusul dari arah belakang.
“Lepaskan, lepaskan tas gadis itu,” ujarku.
Lelaki gondrong tadi melepaskan tangannya dari tas sang gadis. Ia menatap kami dengan wajah garang. Keadaan ini dimanfaatkan oleh sang gadis untuk menghindar dan lari ke belakangku. Wajahnya terlihat sangat pucat.
“Oh, ada pahlawan kesiangan nie. Kau tak tahu siapa aku ya?” ujarnya dengan nada menantang. Ia mengeluarkan pisau lipat dari saku celana dan mengarahkan matanya ke arah kami.
Aku mulai keringatan. Aku baru sadar kalau pria itu benar-benar marah dengan keberadaan kami.
“Kau yang tidak tahu berhadapan dengan siapa. Kalau bang Dirman tahu apa yang kau lakukan. Ia akan membunuhmu,” ujarku. Aku tiba-tiba teringat dengan sosok Bang Dirman, raja preman di Yogya yang sudah sangat akrab denganku.
Benar saja, mendengar nama Bang Dirman, pria tadi mulai ragu-ragu. Ia mundur beberapa langkah dan terdiam.
“Darimana kau kenal dengan Bang Dirman? Jangan bawa-bawa nama itu di sini,” ujarnya masih menantang. Namun nadanya tak lagi sekeras tadi.
“Aku kenal baik dengannya. Kalau kau tusuk kami malam ini. Aku jamin kau akan berurusan panjang dengan dia. Lebih baik kau pergi dan aku menganggap kejadian malam ini tak pernah terjadi,” kataku lagi. Aku merasa mulai menguasai keadaan.
Pria gondrong tadi menurunkan pisau lipat miliknya. Ia mundur beberapa langkah.
“Baiklah. Tapi ingat, kalau kau melaporkan hal ini kepada Bang Dirman, aku akan mencarimu dan menghabisimu. Kau ingat itu,” ujarnya lagi sambil balik badan dan lari meninggalkan kami.
Aku menarik nafas panjang. Ternyata perkenalanku dengan Bang Dirman benar-benar membawa keberuntungan.
Aku menoleh ke belakang. Saat itu Nyak Mul tersenyum ke arahku. Sementara sang gadis terdiam sambil memegang tangan kanannya yang terluka.
“Kau tak apa-apa? Ada barang yang hilang,” tanyaku.
“Tak ada, Mas. Saya baik-baik saja. Hanya luka gores karena terseret tadi. Barang tak ada yang dicuri,” katanya.
Ia ternyata cukup cantik. Rambutnya hitam panjang serta kulitnya putih mulus. Ia cukup tinggi untuk seorang wanita. Badannya kurus semampai. Batik Jawa sangat serasi di tubuhnya. Wajahnya khas Jawa. Ia cocok jadi seorang model.
“Hati-hati kalau pulang. Kawasan ini banyak orang mabuk dan preman,” kataku lagi.
“Iya, mas. Terimakasih atas bantuannya,” ujar gadis itu.
“Tak baik bagi perempuan pulang malam-malam. Kamu pulang kemana? Biar kami antar,” kata Nyak Mul tiba-tiba. Wajah Nyak Mul merona. Ia sepertinya suka dengan gadis itu.
“Kawasan Mariboro, Mas. Tak jauh dari sini,” kata gadis itu.
“Kalau begitu ayo kami antar. Tak perlu takut. Kami pemuda baik-baik dan dari Aceh,” ujar Nyak Mul lagi.
Aku terdiam. Aku sebetulnya enggan untuk mengantar gadis tadi. Aku khawatir orang tuanya salah paham dan menuduh kami yang tidak-tidak. Sebagai anak rantau di Yogya, aku enggan mencari masalah. Namun sikap Nyak Mul yang mendadak baik membuatku enggan untuk mengecewakannya.
Kami kemudian berjalan kaki. Sang gadis berada di tengah-tengah kami. Jarak tempat kami berada dengan kawasan Mariboro sekitar 2 kilometer. Cukup jauh. Namun aku dan Nyak Mul telah biasa berjalan kaki. Aku lebih banyak terdiam selama perjalanan.
“Oya, aku Mul. Biasa dipanggil Nyak Mul. Kami perantau di sini. Aku mahasiswa Fisip UGM. Kalau itu, Musa. Mahasiswa Fakultas Ekonomi UGM,” kata Nyak Mul lagi.
Sang gadis tadi tersenyum. Senyumnya kecut. Ia memegang tangan kanannya yang terluka.
“Kami dari Aceh. Sudah berteman dari SMA. Saat ini ngekos di kawasan Jetis,” ujar Nyak Mul lagi. Sang gadis mengangguk.
Saat itu kami secara tak sadar sudah tiba di kawasan Mariboro.
“Ini sudah sampai. Kamu tinggal dimana? Kami antar di sini saja ya,” ujarku. Nyak Mul menatapku dengan pandangan melotot. Ia sepertinya ingin mengantar sang gadis hingga rumah.
“Iya, Mas. Cukup di sini saja. Terimakasih atas bantuannya. Terimakasih banyak,” kata gadis tadi. Ia kemudian menyebrang dan menghilang di tikungan jalan.
Di kawasan Mariboro memang ada beberapa rumah elit. Rata-rata milik keluarga keraton.
Nyak Mul mendekatiku sangat gadis tadi menghilang. Ia memasang raut wajah cemberut.
“Aku lupa menanyakan nama dan alamatnya. Siapa tahu bisa dekat nanti,” ujarnya. Sedangkan aku cuma tersenyum. [Bersambung]
Cerita bersambung ini karya Musa AM
Baca juga:
Discussion about this post