GABRIEL sering bercerita soal suasana kampung halamannya yang jauh tertinggal dibandingkan daerah lain. Padahal, Papua dinilai memiliki kekayaan alam yang sangat luar biasa.
“Beta marah. Beta sedih saat orang luar mengenal Papua hanya dengan koteka-nya,” kata Gabriel.
Aku tak banyak memberi pendapat soal pernyataan Gabrial. Aku takut pendapatku justru akan membuatnya semakin membenci pemerintah.
Gabriel beragama Kristen. Namun ia bukanlah orang yang fanatik beragama. Ia sangat menghargaiku ketika kami sedang berbincang-bincang dan kemudian suara azan berkumandang, aku harus bergegas ke masjid dan meninggalkannya.
Saat kami berdiskusi di kantin kampus. Gabriel menungguku hingga selesai salat.
“Beta kagum dengan kalian yang muslim. Ketika azan, kalian tak lupa salat. Sedangkan Beta cuma seminggu sekali menghadap tuhan. Itupun jika sempat,” kata Gabriel. Aku cuma tersenyum.
“Masing-masing agama memiliki tatacara tersendiri. Namun tujuannya tetap satu. Jangan disamakan,” kataku.
Gabriel terdiam. Ia seperti sedang berpikir.
“Beta lihat, Tuhan sepertinya sedang mengutuk negeri ini. Menciptakan banyak orang serakah dan menguji orang bersabar. Ia sedang bermain-main dengan kita,” kata Gabriel tiba-tiba.
Aku terkejut mendengar ucapan Gabriel ini. Aku belum pernah berdebat dengan seseorang hingga ke hal-hal mendetail seperti yang disampaikan oleh Gabriel.
Sebagai anak Aceh, aku terbiasa dengan aturan agama. Apalagi aku pernah belajar di pesantren dalam kawasan Paloh selama sekolah. Namun menghadapi orang-orang seperti Gabriel, tentu dibutuhkan kesabaran.
“Beta punya 4 kakak. Satu bergabung dengan gerakan perlawanan. Beta juga akan ikut suatu saat. Senang tak senang Tuhan kepada Beta, Beta tak peduli,” ujar Gabriel lagi.
Gabriel kemudian menceritakan kondisi keluarganya di Papua. Mereka keluarga petani miskin. Orang tuanya meninggal dibunuh di kebun Sagu. Pelakunya tak jelas dan tak pernah tertangkap. Saat itu, Gabriel masih duduk di kelas 1 SMA.
Dua abang Gabriel ditangkap karena terlibat perang suku. Satu bergabung dengan gerakan perlawanan dan tinggal di hutan. Sedang seorang lain mengurus kebun sagu peninggalan ayahnya.
Ibu Gabriel mengalami sakit-sakitan selama setahun terakhir. Semula, ia malas melanjutkan pendidikan. Ia kekurangan biaya. Namun abangnya yang mengurus kebun sagu memintanya untuk tetap belajar. Ia akhirnya lulus ke Fakultas Ekonomi UGM. Ia memperoleh beasiswa.
“Badan Beta memang di sini, tapi hati Beta di sana (Papua). Beta coba bertahan, tapi cobaan sangat kuat. Beta tak mampu,” katanya sambil menitikkan air mata.
Aku segera memeluk sosok bertubuh kekar dan brewokan itu. Aku baru sadar bahwa aku ternyata jauh lebih beruntung dari Gabriel. Aku memiliki keluarga lengkap dan sangat penyayang.
“Kau harus kuat. Kalau harus bertahan dan baru pulang ketika sukses nanti untuk memperbaiki Papua,” ujarku usai melepaskan pelukan. Gabriel terdiam.
“Ya, Beta ingin seperti Musa, tapi bukan kamu,” ujar Gabriel lagi usai menenangkan diri. Keningku berkerut. Aku tak mengerti maksud perkataan Gabriel.
“Musa yang menjadi penyelamat bagi kaum Yahudi dari perbudakan Mesir. Beta pikir, agamamu juga memiliki cerita yang sama,” kata Gabriel kemudian. Aku tersenyum.
“Beta ingin berbuat sesuatu untuk keluarga suatu saat. Beta ingin jadi orang berguna,” ujarnya lagi. Aku melihat sorot mata Gabriel tajam. Ia sungguh-sungguh.
Diskusi kami berakhir jelang Magrib. Gabriel dan aku bubar dan kembali ke kos-kosan masing-masing.
Seperti biasanya, saat malam tiba, aku dan Nyak Mul berkeliling Yogyakarta. Kami melakukan itu dengan berjalan kaki. Ini untuk meminimkan pengeluaran. Maklum anak kos serta jauh dari keluarga.
Kami berputar dari gang yang satu dengan gang yang lainnya. Dari jalan yang satu ke jalan yang lainnya. Kami menempuh jarak hampir belasan kilometer. Namun tak merasa capek.
Kami sering bertemu dengan preman yang mabuk di emperan toko. Namun mereka tak lagi mengganggu kami. Ini karena kami sudah berkenalan dengan bos para preman di Yogya.
Kisah pengenalan kami cukup unik. Sepekan lalu, aku singgah di emperan toko kawasan Malioboro. Saat itu ada pria yang berbadan kekar serta bertato meminta sebatang rokok pada beberapa pria. Namun orang yang diminta justru menghindar dan lari.
Saat pria tadi mendekatiku, aku memberinya beberapa uang recehan. Uang itu sisa kembalian saat turun dari bus. Mungkin hanya cukup untuk membeli 4 batang rokok. Namun sosok itu sangat berterimakasih. Belakangkan aku baru mengetahui bahwa sosok tadi adalah Dirman. Preman yang cukup disegani di kawasan Yogya.
“Pokoknya, kalau kau diganggu sama orang, bilang saja namaku. Dirman. Ingat itu. Bilang aku biasa mangkar di sini. Kalau kau mau makan gratis di sini, bilang saja namaku,” ujarnya saat itu.
Sejak saat itu, saat melihat preman mendekat, aku selalu menjual nama Dirman. Ternyata cukup ampuh. Kami bebas jalan-jalan di malam hari seputaran Kota Yogya tanpa takut seperti malam ini. [Bersambung]
Cerita bersambung ini karya Musa AM
Baca Juga:
Discussion about this post