USAI pengenalan di Asrama Mahasiswa Aceh selama seminggu, aku dan Nyak Mul kemudian pindah ke kos di kawasan Petinggen, Kelurahan Karang Baru, Kecamatan Jetis.
Kami menyewa rumah permanen tiga kamar dengan arsitek jawa. Lotengnya terbuat dari anyaman bambu. Sedangkan atap dari susunan genteng. Biaya sewa Rp3 juta setahun. Aku dan Nyak Mul patungan membayarnya.
Kami kemudian mendaftar ulang di jurusan masing-masing serta mengikuti ospek fakultas.
Dalam buku panduan, aku mengetahui bahwa rektor kebanggaan UGM ternyata orang Aceh. Sosok itu adalah Prof. Dr. Teuku Jacob. Ia lahir di Peureulak, Aceh Timur, 6 Desember 1929.
Teuku Yacob adalah guru besar emeritus dalam bidang antropologi ragawi Universitas Gajah Mada (UGM). Ia dikenal sebagai peneliti berbagai fosil yang ditemukan di berbagai tempat di Pulau Jawa.
Selama hidup, Teuku Yacob dikenal sangat sederhana. Ia menjadi contoh teladan bagi seluruh mahasiswa. Sosok itu membuatku kian kagum dengan tokoh-tokoh asal Aceh.
Sementara untuk mahasiswa, di Fakultas Ekonomi, ternyata tak hanya aku yang berasal dari Aceh. Ada Fadli, asal Meulaboh, serta lulus di Jurusan Manajemen. Kemudian ada Iqbal, warga Aceh yang sudah lama menetap di Jakarta.
Ada juga sosok Andi, mahasiswa Fakultas Ekonomi UGM asal Aceh, letting 1994. Ia senior kami.
Aku mencoba belajar yang tekun. Ini karena besarnya harapan orang tuaku di kampung.
“Belajar yang tekun, dan pulanglah saat sudah jadi orang. Jangan sia-siakan harapan kami ini. Kami ingin kau jadi orang sukses di masa depan,” kata ayahku, Teungku Abdullah, saat mengantar di terminal sebulan lalu.
“Pulanglah saat kau merasa sudah layak. Jangan terlibat narkoba serta membuat citra Aceh tercemar di Yogya,” pesan ayahku lagi.
Beliau juga menjual sawah sepetak agar aku bisa sekolah di UGM. Harapannya inilah yang membuatku menetapkan hati guna bersungguh-sungguh belajar.
“Jangan pernah kau pacaran di sana, nak. Kalau kau sudah siap dan merasa cocok, bawalah pulang ke Aceh untuk kunikahkan,” pesan ibuku, Nyak Ti, saat itu.
Aku mencoba menghabiskan waktu di ruang kuliah, pustaka serta kamar tidur. Sesekali aku juga ke kantin untuk bergabung bersama mahasiswa lain agar tak dianggap kurang pergaulan.
Mahasiswa Fakultas Ekonomi UGM ternyata berasal dari berbagai daerah di Indonesia. Beragam. Ada Gabriel dari Papua, Tahito dari Maluku serta Santo dari Timur Timur. Kami cepat akrab karena sama-sama dari daerah ujung Indonesia.
“Beta suka dengan orang Aceh. Kita saudara. Kita sama-sama ditipu oleh pemerintah pusat,” kata Gabriel diawal-awal perkenalan. Tahito dan Santo tertawa. Sedangkan aku cuma tersenyum.
“Sesama pemberontak harus bersahabat,” kata Tahit, sapaan akrab untuk Tahito. Sosok berambut ikal ini membuat kami tertawa.
Sejak saat itu kami berempat menjadi akrab. Gabriel bahkan mulai sering bermain ke kos-ku dan tidur di sana. Kadang hingga berhari-hari. Aku sendiri tak pernah mempersoalkan saat Gabriel datang dan tidur di kos-kosanku.
Sebagai orang yang tinggal di perantauan, maka semakin banyak kawan akan semakin baik. Bagiku, Gabriel unik. Umurnya masih sangat muda. Namun perawakannya terlihat tua. Gabriel juga pengagum berat AM.
Terus terang, aku sendiri belum begitu mengerti dengan akar perjuangan AM. Biarpun, sikap tidak suka terhadap tentara republic mulai tumbuh sejak kecil. Terutama saat melihat mayat-mayat tak berdosa dibuang di sepanjang pagar PT. Arun.
Namun Gabriel selalu bertanya soal Aceh. Ia mengaku kagum dengan AM yang bisa memberikan perlawanan. Sosok itu bahkan memiliki buku-buku sejarah tentang Aceh.
“Beta ingin pulang ke Papua suatu saat. Beta ingin membuat gerakan seperti AM. Beta ingin agar hasil alam Papua bisa dipergunakan untuk pembangunan daerah sepenuhnya,” kata Gabriel. Aku cuma tersenyum.
Kedekatan dengan Gabriel membuatku mulai membaca awal muasal perlawanan masyarakat Aceh. Aku mulai membaca surat pernyataan perang Belanda terhadap kerajaan Aceh pada 26 Maret 1873. Dimana, aku mengetahui bahwa Aceh sebelumnya adalah daerah berdaulat.
Aku mencari artikel mengenai alasan Aceh bergabung dengan Indonesia. Namun artikel tersebut tak pernah aku jumpai.
Ada juga bacaan tentang penyerahan mandat dari raja ke Wali Nanggroe serta kemunculan Hasan Tiro dan gerakan Aceh Merdeka (AM) hingga GAM. Sosok Hasan Tiro membuatku terkesima. Sosok itu membuatku kian tertarik membaca sejarah Aceh.
Buku-buku tentang sejarah Aceh dan Hasan Tiro sebenarnya sangat sulit diperoleh di Yogyakarta. Buku-buku tersebut dilarang. Namun kami bisa memperolehnya dengan diam-diam.
Di kampus, dalam setiap proses perkuliahan, dosen juga selalu mengingatkan kami untuk tidak membaca buku-buku yang dilarang. Mereka juga meminta kami untuk tidak mengikuti jejak Budiman Sudjatmiko. Tokoh pergerakan mahasiswa yang juga senior di Fakultas Ekonomi UGM.
Namun semakin dilarang, membuatku dan Gabriel, semakin tertarik untuk membaca dan mengetahui sosok Budiman Sudjatmiko. Hal inilah yang akhirnya prestasi akademiku anjlok. Aku hanya memperoleh IP 2,8 untuk semester satu.
Bersambung]
Cerita bersambung ini karya Musa AM
Baca Juga:
Discussion about this post