“Kalau bukan karena suku, lantas apa yang menyebabkan kamu tak mau bersama Rani? Jujur, jika ia bilang suka sama aku, sudah aku bawa ke Aceh untuk bertemu dengan ibuku,” kata Ihsan tiba-tiba. Ia mencoba memecah kebisuan dengan Musa.
Musa terdiam. Sosok itu hanya menarik nafas panjang. Tampaknya berat bagi Musa menjawab pertanyaan tadi.
“Lebih baik kita membahas persoalan lain. Untuk persoalan ini, aku belum menemukan jawabannya yang tepat,” ujar Musa kemudian. Ihsan tersenyum.
“Lantas apa yang harus kutanya? Kalau soal konflik kita sudah lihat sendiri, korban mulai berjatuhan dari kedua belah pihak. Banyak masyarakat yang juga jadi korban,” kata Ihsan.
Musa terdiam.
“Ya. Perang ini sudah memakan banyak korban. Aku berharap perjuangan kami tak sia-sia,” jawabnya kemudian.
Musa meneguk kopi sisa di gelas. Ia kemudian kembali melahap sepotong pisang goreng. Tampaknya sosok itu sangat lapar.
“Apakah Aceh akan merdeka, Musa?” tanya Ihsan lagi.
Musa kembali tertunduk. Ia sepertinya susah menjawab pertanyaan tersebut. Namun Ihsan sedang menyukai diskusi terkait topik pembicaraan tadi.
Ihsan sering menanyakan hal serupa pada Musa saat sama-sama di Yogya dan sosok itu selalu punya jawaban. Ihsan berharap, kali ini ia juga memperoleh jawaban yang sama.
“Isya Allah, Papi. Cepat dan lamban, kita akan merdeka. Setahun, 10 tahun atau mungkin 100 tahun lagi. Saat generasi kita meninggal, maka perjuangan ini pasti akan disambung oleh generasi selanjutnya,” kata Musa pelan.
“Tidak ada anak bangsa Aceh yang tidak memberontak ketika mereka mengetahui sejarah. Mengetahui nasib Aceh yang dikhianati oleh pemerintah pusat,” ujar Musa lagi.
Ihsan terdiam. Ia meneguk kopi hingga habis. Kemudian ia mengambil sepotong pisang goreng dan melahapnya. Di piring, hanya tersisa dua potong pisang goreng.
“Kalau seandainya, pemerintah pusat berjanji tak lagi mengkhianati Aceh, apa perjuangan GAM selesai?” tanya Ihsan.
“Aku tak bisa berandai-andai, Papi. Aku seorang pasukan. Aku setia apapun keputusan yang diambil panglima tertinggi, Mualem. Ada juga orang tua kita di Swedia. Apapun yang diputuskan mereka, akan kuikuti hingga mati,” jawab Musa.
Ihsan tersenyum. Ia kagum dengan tekat kuat yang dimiliki oleh Musa. Sosok itu tak pernah berubah. Ia masih Musa yang sama yang dikenalnya selama di Yogya. Pendiriaannya sangat kuat.
“Aku doakan kau selamat dalam perjuangan ini, kawan. Maafkan aku tak bisa sepertimu. Aku tak memiliki keberanian sepertimu,” kata Ihsan kemudian.
Musa tersenyum. Wajahnya tampak kembali rileks.
“Semua masyarakat Aceh adalah pejuang, Papi. Masing-masing memiliki porsinya. Seperti dirimu, kau juga pejuang Aceh,” kata Musa.
“Oya? Apa yang aku perjuangkan untuk Aceh? Ini pembahasan yang sangat menarik. Aku selama ini menganggap diriku sangat tak berguna bagi Aceh dan bermimpi bisa sepertimu,” ujar Ihsan tersenyum.
“Kau banyak membantu anak Aceh di Yogya. Ini juga bagian dari perjuangan. Karena kebaikanmu, banyak anak Aceh yang akhirnya selesai kuliah dan kembali ke Aceh untuk membangun daerah. Bukankah itu perjuangan?” jawab Musa sambil tersenyum.
“Kau juga membantuku seperti sekarang. Ini juga bagian dari perjuangan,” katanya lagi.
Ihsan tertawa mendengar penjelasan Musa. Ia tak pernah berpikir jika kebiasaanya membantu orang ternyata begitu berharga di mata Musa.
“Baiklah. Sesama pejuang harus kita rayakan. Mari kita habiskan pisang goreng ini dan kacang,” ujar Ihsan. Musa mengangguk. Mereka kemudian melahap masing-masing sepotong pisang goreng.
Ihsan membuka bungkusan kacang serta menuangkannya dalam piring. Mereka kemudian mengupas dan memakan isinya hingga habis. Dari luar, suara azan magrib tiba-tiba terdengar. Suara itu berasal dari meunasah di Cot Seurani. Alunan azan terdengar sangat merdu.
“Sudah magrib ternyata. Kita salat di meunasah atau tetap di kamar,” tanya Ihsan pada Musa.
Musa tak langsung menjawab. Ia seperti sedang berpikir. Mungkin Musa takut jika berpas-pasan dengan TNI saat keluar ke meunasah nanti.
“Tenang, tak ada TNI di sini. Aman,” ujar Ihsan menyakinkan. Musa kemudian mengangguk.
“Baiklah. Kita ke meunasah,” katanya kemudian.
Ihsan berdiri. Ia membuka lemari dan mengambil dua kain sarung. Satu diserahkannya ke Musa. Mereka bersalin dengan cepat. Musa lebih dulu keluar kamar. Ia berdiri di dekat pintu guna menunggunya selesai.
Ihsan menyusul beberapa menit kemudian. Sebelumnya, ia mengunci pintu. Ihsan tidak ingin ada orang masuk ke kamar saat mereka keluar. Terlebih, ada senjata FN milik Musa yang tersimpan dalam lemarinya.
Saat mengunci pintu, Ihsan teringat sesuatu. Ia teringat dengan curhat Rani kepadanya melalui SMS beberapa bulan lalu.
“Oya, Musa. Kalau kau ada waktu, tolong balas pesan dari Rani. Kasihan anak itu. Ia khawatir akan keselamatanmu,” kata Ihsan.
Musa tersenyum. Sosok itu kemudian mengangguk. Ihsan tak bisa melihat jelas raut wajah Musa. Suasana di luar mulai gelap. [Bersambung]
Cerita bersambung ini karya Musa AM
Baca juga:
Discussion about this post